Delapan : Recognition [Repub]

12.3K 294 2
                                    

Naila keluar dari bathroom sambil menyeka rambutnya yang basah dengan tuala, Zenta yang sedang memegang gawai sontak menatap lekat tubuh telanjang Naila seraya manik mata coklatnya pun berbinar penuh luapan berahi.

"Kau seksi sekali kalau lagi basah-basahan seperti sekarang, Sayang."

"Ala, gombal!"

"Hm, tidak percaya. Sungguh, Nai!"

"Masa, Zen? Kau masih ingin bercinta?" cebik Naila bernada ketus.

"Iya, maulah! Tapi, nanti malam saja bercintanya."

"Tumben? Tidak biasanya."

"Hm, mau menantangku rupanya?"

"Hehehe ... Tidak, Sayang. Aku hanya menggodamu, Zen." Rayu Naila sambil melangkah ke meja rias di mana ia biasa berdandan.

Zenta pun menghampiri Naila, membelai perut datarnya lalu menunduk mengecupnya lembut. "Zeva baik-baik ya di dalam, Nak. Jangan rewel! Terus harus jadi anak yang strong seperti Kak Zovan. Supaya Daddy tetep bisa menaiki Mommy-mu setiap hari."

"Uh ... Kau itu urusan bercinta saja yang dibahas," ucap Naila sambil menepuk dahi Zenta.

"Iyalah, Nai. Kalau Zeva tidak strong terus aku nanti bercintanya dengan siapa? Masa mau dikeluarkan sendiri? Malas ah!"

"Dasar mesum!" cebik Naila sebal, ia kemudian duduk dan mulai berdandan, karena hari ini keduanya akan mengunjungi orang tua Zenta.

"Zen?" panggil Naila sambil memberi hair tonic pada rambutnya.

"Hm, apa?" jawab Zenta yang kembali berkutat memeriksa schedule pekerjaannya pada layar benda tipis yang berada di samping tempat tidur.

"Bagaimana kalau adiknya Zovan laki-laki lagi?"

"Sepertinya ini perempuan, Nai."

"Halah, sok tahu!"

"Hm ... tidak percaya? Nanti lihat saja waktu usia kandunganmu lima bulan pasti Dokter mengatakan kalau anak kita perempuan," ucap Zenta meyakinkan. Jeda sejenak, keduanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Zen, pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Naila tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan, dan tubuhnya menghadap Zenta yang ada di atas tempat tidur.

"Belum, malam nanti mau ketemu client di Orchad. Kenapa? Apa kau mau ikut?"

"Tidak! Aku di rumah Mama saja. Nanti kalau pekerjaanmu sudah selesai, baru kita pulang bersama," jawab Naila. "Zen, kalau kita pindah ke rumah baru lalu bagaimana dengan rumah yang ini?" tanya Naila lagi.

"Ya dijual, Nai."

"Apa tidak sebaiknya diberikan untuk Papa dan Mama saja, Zen, agar menempati rumah ini?" ucap Naila memberi solusi.

Zenta terkekeh mendengar ucapan kekasihnya. "Mereka mana mau, Sayang. Rumah lama yang mereka huni sekarang itu rumah warisan. Bagian depan saja mana boleh direnovasi, aku hanya merenovasi bagian dalamnya saja."

"Andai saja, Zen, orang tuaku seperti orang tuamu. Alangkah bahagianya aku sekarang, pasti hubungan kita tidak akan serumit seperti sekarang," lirih Naila bernada sedih sambil menghela napasnya pelan.

"Bagaimana? Apa kau mau tinggal di sini selamanya? Yang di Indo kau tinggalkan saja!"

"Terus Mas Af-" Naila batal melanjutkan kata-katanya karena takut kekasihnya akan marah.

"Naila Sayang, sekali saja! Aku ingin menemui suamimu itu, aku ingin berbicara antar laki-laki. Boleh, ya?" Naila bergeming, ia tidak menjawab ucapan lelakinya, karena ia tahu jika Zenta sampai menemui suaminya, yang akan terjadi hanyalah peristiwa berdarah tak terelakkan.

Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang