Perlahan Naila membuka netranya, pandangannya masih terasa buram, terdengar samar suara seorang laki-laki memanggil lembut namanya.
"Nai. Naila. Sayang? Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanya Zenta sambil memegang tangan kekasihnya, mengecupi lalu menempelkan pada pipinya.
"Aku di mana, Zen?" tanyanya lemah, kepalanya masih terasa berat.
"Di rumah sakit. Lupa ya kalau tadi pingsan?" jawab Zenta menatap lekat wajah kekasihnya. Naila tersenyum samar lalu membawa tangan lebar lelakinya ke dadanya.
Keduanya terdiam sejenak, hanya saling menatap tanpa berucap hingga sang pria memecah keheningan, "Sayang, dokter tadi sudah memeriksa kandunganmu. Kata dokter, Zeva baik-baik saja."
"Iya, Zenta Sayang, terima kasih. Hm, masih marahkah kau padaku?" tanya Naila sambil menatap lekat wajah suaminya. Zenta bergeming, laki-laki itu hanya menatap lembut sembari membelai mesra puncak kepala istrinya.
"Zen ... Aku sudah jahat sekali padamu, tidak pernah memikirkan perasaanmu, tapi kenapa kau masih saja baik padaku," cicit Naila pelan.
"Karena aku sangat mencintaimu, Sayang. Dan seorang laki-laki yang sangat mencintai wanitanya, meski wanitanya berbuat kesalahan atau menyakiti perasaan pasangannya, laki-laki itu akan tetap memaafkan wanitanya karena pemberi maaf adalah rasa terbesar dari rasa mencintai itu sendiri," jelas Zenta pelan lalu menangkup pipi putih Naila.
"Aku menyayangimu, Naila, sangat mencintaimu. Entah apa lagi yang harus aku katakan agar kau tahu bahwa rasa cintaku dan rasa sayangku padamu begitu besar, melebihi apa pun di dunia ini." Zenta kemudian mengecup simetris ranum istrinya, begitu dalam dan lama hingga Naila melenguh lemah.
"Zen ...?" Zenta melepaskan ciumannya lalu memandang lekat wajah kekasihnya. "Ya, Nai. Apa, Sayang?"
"Kita pulang, ya?" pinta Naila lembut.
"Tapi kau belum sehat, Nai. Kau dirawat semalam di sini, ya? Mau 'kan?" Naila menggeleng samar, ia kembali memohon kepada lelakinya, "Aku ingin berdua denganmu di rumah, Zen."
Zenta menatap lekat wajah pucat wanita yang sangat dicintainya. Entah, setiap kali setelah mereka bertengkar hebat, rasa cinta di antara keduanya semakin besar. Zenta maupun Naila selalu ingin mengeksplor rasa cinta mereka dengan berhubungan intim dan Zenta mengetahui hal itu meski Naila tidak mengatakannya secara langsung padanya.
"Ya, Nai. Kita pulang. Aku akan menemui dokter dulu, kau tunggulah di sini!" Zenta kemudian bangkit berdiri dari kursinya, berlalu ke luar kamar di mana Naila dirawat, dia menemui dokter menanyakan kondisi kekasihnya.
Setelah Naila dinyatakan sehat, Zenta membawanya pulang. Dengan menggunakan kursi roda, Zenta membawa Naila menuju ke mobil. Zenta menggendong Naila kemudian mendudukkannya ke dalam mobil. "Terima kasih, Zen," ucap Naila pelan.
Zenta tersenyum, mengecup puncak kepala istrinya lalu ia memutari mobil, membuka pintu, berlanjut duduk di dalamnya. Ia kemudian menghidupkan mesin mobil, melajukan menuju arah pulang."Nai, kau belum makan 'kan? Kita makan dulu ya di luar, setelah itu baru pulang." Suara Zenta lembut sambil meremas tangan istrinya. "Aku belum lapar," jawab Naila singkat.
"Sayang, kau harus makan meski belum lapar, kasihan Zeva di dalam sini." Tangan Zenta membelai lembut perut Naila yang masih datar. "Makan dulu ya, Sayang? Kau ingin makan apa?"
"Hm, apa ya? Kalau kau ingin makan apa, Zen?" tanya Naila sambil menatap wajah kekasihnya yang sedang fokus menyetir.
"Kalau aku inginnya memakanmu, Sayang," ujar Zenta sambil terkekeh.
"Uhh! Ditanya serius malah jawabnya seperti itu, kau memamg sungguh menyebalkan," cebik Naila bernada kesal, lalu ia masih menyambung mengolok suaminya. "Dasar kau itu mesum!" tukas Naila sembari memukul gemas lengan kekar lelakinya. Zenta kembali terkekeh menatap tingkah lucu istrinya
KAMU SEDANG MEMBACA
Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻ
Action[21+] ~ Sebagian part diprivate. Silakan follow dulu sebelum membaca, karena follow itu gratis. Dan sebelum membaca lebih lanjut, sebaiknya pikir kembali bila usia tidak memenuhi syarat. JANGAN DIBACA! ⛔ ~~~ ✔ Tema : intrique, tragedy, suspense ✔ St...