Empat : Set off [Repub]

17.5K 371 0
                                    

Terlihat sejoli turun dari pesawat, mereka berjalan beriringan hendak menuju pintu keluar bandara. Zentaro Alasca dan Naila Rambbago telah menginjakkan kakinya di Negeri Singa dan seperti biasa, Zenta selalu memeluk mesra kekasihnya walaupun di tempat umum seperti sekarang.

"Zen. Banyak orang, aku malu!" kata Naila sembari menurunkan tangan kekasihnya yang memeluk bahunya. "Kenapa harus malu, Nai? Di sini tidak ada yang mengenali kita, aku sedari tadi sudah menahan untuk tidak menyentuhmu, Sayang," bisik Zenta pada daun telinga Naila sembari menjilat sekilas cupingnya.

"Duh, Zen! Sudah, Sayang. Geli tahu!" ucap Naila berusaha sabar dengan sikap pemaksa kekasihnya.

Naila tahu akan nafsu berahi kekasihnya yang begitu besar. Meski Zenta sekarang hanya mempunyai satu ginjal, tetapi itu tak membuat Zenta kehilangan nafsunya dalam hal bercinta. Kedua sejoli itu berjalan menyusuri koridor kedatangan di Bandara Changi. Meski Naila sudah melarang kekasihnya untuk bersikap mesra di tempat umum, tetapi tetap saja laki-laki itu memeluknya mesra. Keduanya pun kemudian masuk ke dalam mobil yang beberapa saat lalu telah menunggu dengan setia berserta sang sopir.

"Selamat pagi, Tuan!" sapa sang sopir pribadi kepada tuannya. Zenta hanya menjawab dengan menganggukkan kepala. Selain dengan Naila, sikap Zenta dengan orang lain selalu angkuh dan arogan.

"Pagi juga, Pak Ali." Naila membalas sapaan sopir pribadi kekasihnya. "Pak, langsung ke asrama ya! Saya mau menjemput Zovan sebentar," titah Naila kepada Pak Ali.

"Baik, Non."

Tak berselang lama meluncurlah mobil mewah itu keluar dari kawasan parkir bandara menuju ke jalan besar. Sekitar tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai di asrama tempat Zovan menuntut ilmu.

"Zen, sudah minta izin belum dengan kepala sekolahnya?" tanya Naila lembut sembari membelai lembut paha kekasihnya.

"Nai, kau jangan mulai, ya!" bisik Zen pada daun telinga kekasihnya bernada kesal karena sentuhan tangan Naila membuat milik-nya seketika mengeras.

"Kenapa, Sayang?" tanya Naila menggoda sembari semakin intens membelai paha Zenta.

"Hm, fine! Sekarang menggodaku saja terus, Nai. Awas saja nanti malam, aku akan membuatmu tidak dapat berdiri seperti saat kau mengandung Zovan tujuh bulan," seru Zenta dengan suara berbisik serta bernada mengancam.

Naila pun menanggapi dengan terkekeh kecil, ia masih mengingat peristiwa di mana dulu ketika sedang mengandung buah hatinya. Ia maupun Zenta setiap hari melakukan penyatuan secara ekstrim, dalam satu hari mereka berdua bisa melakukannya hingga sepuluh kali. Itu semua disebabkan hormon berlebih pada tubuh Naila, karena itu Naila selalu meminta bercinta setiap hari dan karena Zenta adalah pria dengan nafsu besar, maka keduanya pun saling menikmati tanpa khawatir terjadi sesuatu dengan sang buah hati.

Mobil berhenti di depan pintu gerbang sekolah di mana Zovan menuntut ilmu, Naila turun dan Zenta tetap berada di dalam mobil. Tak berselang lama, terlihat Naila menggandeng putra semata wayangnya, berlari kecil menuju mobil di mana sang ayah telah menunggunya.

"Daddy!" Zovan memeluk tubuh ayahnya dengan gembira. "Miss you, Dad," sambung polos Zovan menyapa ayahnya.

Zenta membalas pelukan putranya. "Miss you too, Son!" Naila masuk ke dalam mobil beserta Zovan, sambil berulang kali menciumi wajah putra semata wayangnya.

"Mom, stop it! Nanti saja ciumnya, Mom." Zovan mengusap wajahnya. "Mommy merindukanmu, Sayang! Apa Zovan tidak merindukan Mommy?" tanya Naila sambil memeluk erat tubuh putranya.

"Rindu, Mom. Rindu sekali." Zovan balas memeluk hangat tubuh sang ibunda. "Where are we going now?" tanya Zovan memandang jalanan lurus ke depan, setelah melepaskan pelukannya.

"Home, Dear," jawab Naila lembut sambil tangannya mengusap puncak kepala putranya. "Kenapa, Zov? Zovan ingin ke mana?" tanya Naila penasaran, efek melihat mimik muka sang putra yang terlihat tidak senang.

"Zovan ingin ke rumah Oma dan Opa," jawab polos Zovan, yang sekarang genap berusia tujuh tahun itu.

Kedua orang tuanya saling bertukar pandang karena mereka tahu Zovan memang sangat dekat dengan nenek serta kakeknya. Untuk menetralkan kekecewaan putranya, Zenta segera mengeluarkan rayuan maut kepada sang buah hati. "Ke rumah Oma dan Opa ditunda dulu ya, Zov. Kita pulang ke rumah kita dulu, Mommy dengan Daddy ingin bersamamu. Zovan mau 'kan?" jelas Zenta kepada putra semata wayangnya.

"Tapi janji ya, Dad. Zovan sudah rindu sekali dengan Opa dan Oma."

"Okay, boy. I promise," jawab Zenta sambil jarinya membentuk dua jari.
Mobil sampai di depan pintu gerbang dan penjaga membukanya, mobil masuk ke dalam. Naila turun sambil menggandeng Zovan masuk ke dalam rumah, Zenta mengikuti dari belakang.

"Nanny!" panggil manja Zovan kepada pengasuhnya.

"Wah, Tuan Muda datang juga, Nanny sudah rindu sekali dengan Tuan Muda." Renata memeluk erat momongannya, berulang kali mengusap puncak kepala Zovan.

"Non," sapa sopan Renata kepada Naila.

"Iya."

"Mana Tuan Zenta?" tanya Renata kepada Naila sembari kepalanya celingukan mencari keberadaan tuannya.

"Masih di luar, sedang telepon."

"Bagaimana, Non, urusan yang kemarin? Apa sudah selesai?" tanya Renata penasaran.

"Belum, Ren. Saya bingung mau cerita bagaimana dengan Zenta, takut dia marah."

"Nona Naila harus cerita ke Tuan secepatnya, daripada berlarut-larut nanti malah Tuan Zenta salah paham, Non," jelas Renata meyakinkan nonanya.

"Ck! Saya bingung, nanti pasti Zenta minta syarat lagi, Ren. Saya pasti disuruhnya hari itu juga langsung cerai," ucap Naila meragu.

Belum tuntas percakapan antara pelayan dengan majikannya itu, tiba-tiba terdengar langkah kaki memasuki rumah. "Ada Tuan, Non! Rena ke dalam dulu. Mari, Tuan Muda, kita main di taman belakang saja," ajak Renata sambil menggendong momongannya.
Zenta masuk ke dalam rumah lalu memeluk tubuh sintal kekasihnya.

"Sayang, ayo mandi! Aku gerah," ajak Zenta sembari mengecup puncak kepala kekasihnya

"Mandi apa mandi?" tanya Naila menggoda lelaki pujaan hatinya.

"Mandi, Nai. Nanti setelah mandi baru aku menikmatimu seperti biasanya," ucap Zenta sambil mengedipkan sebelah netranya.

"Uhh ... Kau itu, selalu saja bercinta yang diinginkan!" sebal Naila sembari menepuk gemas kepala prianya.

"Kan sudah kukatakan, aku mau Naila kecil, Sayang, ingin punya sepasang."

Kemudian tanpa permisi dengan sigap Zenta segera menggendong tubuh sintal kekasihnya, lalu berjalan menuju kamar utama di mana mereka biasa beristirahat serta berasyik-masyuk.

























Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang