Enam : Succulent Anger [Repub]

20.8K 373 2
                                    

Naila terlelap dalam pelukan Zenta, setelah saling menangis mengenang masa lalu kisah cinta mereka, sang wanita pun tertidur pulas. Zenta belum dapat memejamkan netranya barang sedikit pun, ia membelai lembut wajah kekasihnya, tak pernah bosan ia memandang paras cantik perempuan yang sangat dicintainya. Aku sangat menyayangimu, Nai, apa pun akan aku lakukan agar kau bahagia. Demi memilikimu, aku bekerja keras hingga sukses seperti sekarang, batinnya. Ia kemudian menunduk, mengecup penuh kehati-hatian bibir wanitanya. Ciuman itu mengusik tidur Naila hingga membuatnya terjaga, Naila mengamati paras tampan lelakinya begitu dekat. Bibir Zenta sekarang sedang melumat bibirnya.

"Emph!" Zenta pun melepaskan tautan bibirnya, efek mendengar lenguhan samar Naila. "Maaf, Sayang. Kau jadi terbangun. Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak menyentuhmu bila sudah berdekatan denganmu seperti sekarang."

Zenta menangkup pipi Naila dengan sebelah tangannya. "Nai, kenapa diam? Apa yang sedang kau pikirkan? Katakan padaku, Sayang!"

"Tidak, Zen. Tidak kenapa-napa! Zovan sudah tidur ya?" tanya Naila sembari beringsut bangun.

"Mungkin saja, Nai! Sekarang sudah larut, sudah jam sepuluh," jawab Zenta sambil menarik pinggang kekasihnya.

"Zenta, aku ingin buang air kecil."

"Cium aku dulu, Sayang!" pinta Zenta merengek manja. Sekilas Naila pun mencium bibir kekasihnya, namun laki-laki itu tidak mau melepas tautan bibirnya.

"Em ...! Ze- ... bu-" ronta Naila sembari tangannya memukul lengan lelakinya. Mendengar rontahan kekasihnya, Zenta melepas tautan bibirnya sambil terkekeh.

"Dasar mesum! Aku itu mau pipis, Zen." Naila turun dari atas tempat tidur lalu melangkah menuju bathroom.

"Sayang, besok jadi 'kan ke rumah orang tuamu?" tanya Naila dari dalam bathroom.

"Ya, Nai. Jadi. Kan sudah janji pada Zovan tadi. Kenapa memangnya?" tanya Zenta penasaran.

"Agak sore saja ya kita ke sananya, paginya aku ingin membelikan sesuatu untuk Mama."

"Hm, iya. Mama pasti senang kalau tahu kau hamil lagi, apalagi kalau perempuan."

"Hahaha iya," jawab Naila terbahak.

"Sayang, kau masih belum mau pulang ke rumah orang tuamu?" tanya Zenta tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

"Jangan membahas mereka, Zen! Karena membuatku sakit hati." Naila keluar dari bathroom, kembali menuju tempat tidur, naik ke atasnya dan berbaring miring menghadap kekasihnya.

"Nai, aku bingung harus bagaimana menghadapi kedua orang tuamu."

"Sudahlah, jangan membahasnya lagi! Biarkan saja! Eh iya, Mas Afkan belum kukabari kalau aku tidak pulang. Ck! Lupa, 'kan."

Naila meraih ponselnya namun Zenta merebut ponsel tersebut lalu membuangnya jauh. Lelakinya kemudian dengan kasar langsung merobek gaun tidur kekasihnya. "Aku tidak menyukainya, Nai. Tidak suka kalau kau selalu memperhatikan suami tuamu itu." Kemudian dengan sikap kasarnya ia meraup rakus bibir kekasihnya. Sebelah tangannya meremas payudara wanitanya, mencubit nipple-nya.

"Zen, sakit!"

Namun laki-laki itu mengabaikan ringisan kekasihnya dan Naila tahu, sangat tahu, bahwa lelakinya sekarang tengah dibakar api cemburu. Zenta menggigit sekitar leher kekasihnya hingga kulit putihnya mulai berubah warna.

"Zen ...! Zenta?" panggil Naila memelas menyerupai suara kesakitan. Namun, Zenta tidak menjawab panggilan wanitanya, ia masih saja menggigit tiap jengkal tubuh Naila.

"Iya, Maaf. Maafkan aku, Zen!" pinta Naila lirih sembari meneteskan bulir bening dari pelupuk matanya.

"Tidak perlu menangis! Sudah terlambat! Kau yang sudah membuatku seperti ini, Naila!" Suara Zenta meninggi satu oktaf, ia kembali melahap rakus bibir ranum wanitanya dan jemarinya mulai mengocok kasar area sensitifnya.

"Zen ...! Sshh..., Say-ang! Maafkan ...a-ku!" ucap Naila terbata karena merasakan rasa nikmat sekaligus sakit dalam waktu yang bersamaan.
Zenta melebarkan kedua paha Naila, memainkan lidahnya pada liang sanggama wanitanya, menyedot bibir vagina yang telah basah oleh lendir pelumas bercampur salivanya, dan juga sesekali memutar lidah pada klitorisnya.

"Achh ...! Zen ..." Naila menyugar rambut kekasihnya sembari melengkungkan punggungnya.

"Zen ...?"

"Hm?" Jemari laki-laki itu mengocok nakal pada liang sanggama kekasihnya sambil menyedot bibir vagina itu hingga menimbulkan bunyi.

POP!

"Achh ..., Zen! Su- ...!" Erangan kembali lolos dari bibir sang wanita

"Kau masih marah kah, Zen?" tanya Naila pelan dengan suara sedikit ketakutan. Naila sering mengalami perbuatan lelakinya yang seperti ini, meski dalam keadaan marah sekali pun kekasihnya tetap meminta penyatuan padanya.

"Ya, aku masih marah karena kau selalu bersikap seperti tadi."

Zenta melepas gaun tidur yang robek dengan kasar, membuangnya asal. Kemudian ia mengurut batang keperkasaannya berlanjut memosisikannya tepat di depan bibir vagina sang istri lalu menusukkan dengan kasar.

Bles!

"Achhh, Zen! I-iya, maaf, Zen."
Rintihan beserta permohonan kembali terdengar. Lelakinya mulai menumbuk liang sanggama Naila dengan kasar, mengentak milik-nya hingga masuk sepenuhnya ke dalam lubang nikmat itu.

"Zen ... I'm so sorry, Honey! Please...!" Naila berusaha meredakan amarah kekasihnya, ia menatap lekat manik mata coklat Zenta penuh permohonan.

"Tidak! Setiap kali kita berdua, kau selalu begini padaku, Nai." Zenta kembali menghentakkan milik-nya lebih dalam mencapai pangkal ke liang kewanitaan kekasihnya, kepalanya kemudian menunduk menggigit leher jenjang wanitanya hingga Naila menjerit, menancapkan kuku-kukunya pada punggung Zenta.

"Zen ... Honey, please! Maafkan aku, Zen!"

Zenta mengacuhkan ucapan kekasihnya, irama pinggulnya masih terlihat menumbuk kasar liang sanggama wanitanya. Zenta menggerakkan pinggulnya, memompa liang kewanitaan kekasihnya tanpa memberi jeda sedikit pun, entah sudah berapa kali Naila mengalami pelepasannya. Zenta adalah laki-laki posesif dan juga sangat pencemburu, namun di balik kecemburuannya, ia teramat sangat mencintai Naila melebihi ia mencintai dirinya sendiri.

"Ini hukuman untukmu, Nai. Saat kau sedang berdua denganku, aku tidak suka kau menyebut nama suamimu di depanku karena kau adalah milikku, Naila, hanya milikku!"

Zenta kembali menumbuk liang sanggama kekasihnya dan Naila teringat kembali dengan peristiwa yang seperti ini. Zenta akan menghukumnya dengan meminta penyatuan diri sepanjang malam tanpa berhenti. Pergumulan panas itu berlangsung hingga beberapa jam, sampai akhirnya sang pria menyemburkan cairan cintanya ke dalam rahim sang wanita. Napas Zenta yang memburu berangsur normal hingga ia ambruk menindih tubuh kekasihnya.

Jeda sejenak, keduanya kelelahan. Zenta menggeser tubuhnya ke samping Naila dengan posisi terlentang sambil mengatur napasnya.

"Zen?" panggil Naila pelan.

"Hm?"

"Masih marah padaku?"

"Sudah! Jangan menanyakan pertanyaan yang sama, aku sekarang mau istirahat sebentar terus ingin menaikimu lagi."

Naila tersenyum lalu mencium puncak kepala kekasihnya. Jawaban Zenta yang seperti itu menandakan bahwa amarah laki-laki yang ia sangat cintai telah reda. "Terima kasih, Sayang. Love you, Zenta."

"Awas saja sampai kau mengulangi yang seperti tadi, Nai!" ancamnya kepada sang kekasih.

"Iya-iya. Tidak lagi, aku janji!"



















Repub. ᎳᏆᏞᏞ ᎠᏆᏟᎻTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang