Seperti patung, aku dan dia hanya saling diam tak bicara. Bahkan, suara bising dari pengunjung restoran lain tak dapat melawan suasana kaku di antara kami berdua.
Suara dentingan pisau dan garpu yang sengaja kumainkan dengan kesal pun, tak dapat mengusir perasaan campur aduk yang sejak tadi menggelayutiku.
Laki-laki yang tengah berada di hadapanku ini adalah sumber kekesalanku sejak tadi. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana jalan pikirannya. Ia bahkan tak sedikit pun berusaha berbasa-basi padaku.
Satu-satunya kalimat yang ia lontarkan sejak kami bertemu hanyalah 'apa kabar?' padaku.
Setelah itu, tak ada lagi satu kata pun yang terucap. Bahkan sampai detik ini, aku tidak bisa menepis pikiran barangkali dia mengalami gangguan psikis.
Ya, semacam sulit bicara dan sejenisnya. Atau, barangkali memang sifatnya yang terlalu pendiam serta tertutup?
Steak milikku terus kukoyak tanpa ada niat untuk memotongnya dengan benar. Bukan tanpa alasan. Itu semua karena aku merasa orang di hadapanku ini telah membuatku kehilangan selera makan. Aku merasa diabaikan dan tidak dianggap.
Detik demi menit pun berlalu. Suasana di antara kami masih saja hening. Bahkan, suara dentingan pisau yang sejak tadi kumainkan sepertinya tidak menggugahnya sama sekali.
Setidaknya hanya untuk sekedar menegurku. Karena kupikir hal ini sedikit tidak sopan. Tapi, pada kenyataannya ia tetap saja bergeming.
Lewat sudut mataku, kulihat ia sudah meletakkan pisau dan garpu miliknya di kedua sisi piringnya. Dia menyelesaikan makan malamnya lebih cepat.
Tanpa sadar aku menghela napasku dengan keras.
"Kau sudah selesai?" tanyaku pada akhirnya. Kemudian ikut tertular menaruh pisau dan garpu milikku. Lebih baik ikut mengakhiri makan malamku, meskipun belum habis.
Kuangkat kepalaku demi melihat ia menjawabku. Namun, ia hanya menganggukkan sedikit kepalanya. Bahkan, tanpa melihat kepadaku sama sekali?
Reaksinya benar-benar tak seperti yang kuharapkan. Kupikir, setidaknya dia akan menjawab satu kata 'iya' misalnya.
"Baiklah, kita pulang sekarang." Aku mengelap mulutku dengan tisu, lalu segera bangkit berdiri.
Tanpa menunggu persetujuan darinya, aku langsung saja melenggang pergi. Setelah sebelumnya mengambil tas tangan milikku yang kuletakkan di kursi.
Kudengar langkah kakinya mengikuti arah pergerakan kakiku. Sampai aku menyadari bahwa ia sudah berjalan beriringan di sampingku. Kami berdua kemudian terus berjalan tanpa suara hingga ke luar restoran.
Di dalam mobil pun lagi-lagi aku merasa seperti patung yang tidak diacuhkan. Perasaan tak nyaman itu kembali mendera. Suasana dingin di antara kami benar-benar membuat semuanya menjadi serba salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying a Gay Man?!
FanfictionIrene sedang dilanda keraguan tentang kelanjutan hubungan dengan tunangannya Suho-si pria dingin yang hampir tidak pernah mau berbicara kepadanya sama sekali. Hingga suatu saat, pria itu menjadi lebih banyak berbicara kepadanya. Setelah kejadian di...