"Kau tidak akan mengobatiku?" Suho mengulangi pertanyaannya sambil menunjukkan senyumannya yang terlihat licik.
Aku bangkit dari sofa, dan bergegas mendorong kotak P3K tepat ke dadanya. "Lakukan saja sendiri!"
Ia meraih kotak itu sambil menahan tawanya. "Kau tidak akan menuruti perintah ibumu?"
Aku tidak menggubris perkataannya, dan segera berbalik untuk pergi menjauh darinya.
Baru saja selangkah aku berjalan, Suho menarik pergelangan tangan kiriku. Membuatku mau tidak mau harus kembali membalikkan sebagian tubuhku untuk melihatnya, dan tentunya memberikan ekspresi mata yang melotot ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan?!" bentakku sambil mengibaskan tangannya dari tanganku.
"Aku minta maaf untuk kejadian hari ini." Ia tersenyum dengan mata berbinar ke arahku.
"Kau tampak seperti anak anjing yang menyedihkan," selorohku dengan nada mengumpat.
Suho malah tertawa kecil setelah mendengar itu. Aku bahkan tidak berniat sama sekali untuk membuat candaan padanya.
Ia kemudian bangkit berdiri, dan menyentuh kedua bahuku. "Lalu apa yang bisa kulakukan agar kau memaafkanku?"
Aku menatap kedua tangannya di bahuku dengan tatapan tak percaya. "Apa kau sudah gila? Jangan sentuh aku!"
Aku pun langsung menghempaskan kedua tangannya yang sudah begitu lancang mampir di bahuku tanpa izin.
"Batalkan saja pertunangan kita sebelum terlambat. Aku akan memaafkanmu dengan begitu."
"Kalau aku tahu kau akan meminta pertunangan kita dibatalkan, aku tidak akan memberitahumu tentang diriku dan membiarkannya saja sampai kau akhirnya mengetahuinya sendiri."
"Apakah kau tidak memahaminya? Aku hanya tidak ingin membohongimu. Karena aku percaya, kau adalah wanita yang baik dan akan menerima keadaanku."
Belum sempat aku menanggapi perkataannya, terdengar suara pintu kamar terbuka.
"Irene? Kenapa kau masih belum mengobati Suho?" tanya ibu dari balik pintu kamar yang berada agak jauh dari posisi kami berdua.
"Oh ... Ibu, dia bilang mau segera pulang saja," ujarku berbohong.
"Apa maksudmu? Lebih baik menginap saja di sini malam ini. Sudah terlalu larut malam sekarang. Kau bisa kembali pagi nanti sebelum berangkat kerja," ujar ibu sembari berjalan mendekati kami.
"Kau mau menginap di sini kan, Suho?" Ibu memegangi bahu kiri Suho sambil tersenyum.
Suho tertawa kecil. "Baiklah, kalau bibi memaksa."
"Irene, cepat sekarang kau obati luka Suho. Aku tidak akan meninggalkan kalian sebelum kau mulai mengobatinya."
"Ibu!" seruku berusaha memprotes.
Ibu tidak menjawabku, dan hanya memberikan jawaban melalui bola matanya yang terus mengarah ke arah Suho dan aku secara bergantian.
Dengan setengah hati, aku pun segera mengambil kotak P3K yang tergeletak di sofa dan mulai duduk.
Sepertinya tidak akan ada gunanya saat ini memberontak di hadapan ibu. Aku masih belum siap untuk terang-terangan memberikan sikap benci pada Suho di hadapan ibu saat ini.
Suho pun dengan perlahan mulai duduk di sampingku, dan masih dengan menyunggingkan senyumannya yang sama. Senyuman yang membuatku ingin menghajarnya saat ini juga.
Aku membuka kotak P3K dengan kasar, dan mengambil cotton swab steril dari kotaknya. Saat itu juga, ibu kemudian mulai beranjak pergi meninggalkan kami berdua.
Setelah ibu kembali masuk ke dalam kamar, aku segera membaurkan cotton swab tersebut di luka Suho dengan tekanan yang keras.
"Aaaahhhh!" pekik Suho setengah berteriak. Tanpa sadar hal itu membuatku tertawa puas dalam hati.
"Apa kau tidak bisa pelan-pelan?" tegur Suho dengan wajah meringis kesakitan.
"Masih untung aku masih mau membersihkan lukamu," ucapku malas, masih dengan menekan-nekan keras cotton swab itu ke seluruh area lukanya. Biar rasa perihnya semakin terasa sekalian.
Tangan Suho tiba-tiba menghentikan pergerakan tanganku, ia lalu menggenggam telapak tangan kananku. "Lakukan seperti ini."
Ia lalu tanpa canggung, malah menuntun tanganku untuk mengarahkan cotton swab itu dengan lembut.
Kedua matanya kemudian mengarah tepat ke arah kedua mataku. Aku ingin marah dan menarik tanganku darinya, tapi entah mengapa tatapan matanya seakan membuatku terhipnotis. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya, entah mengapa terasa begitu teduh dan menenangkan.
Tanpa sadar, mata kami berdua saling tertaut hingga beberapa detik lamanya, sampai aku tersadar dan segera membuang mukaku, dan menarik tanganku darinya.
"Ah sial, hal seperti ini saja harus aku yang melakukan. Kau kan bisa melakukannya sendiri! Kau pikir ini adegan dalam drama apa!"
Entah mengapa amarahku kembali muncul begitu tersadar. Aku pasti terlihat seperti orang bodoh di hadapannya barusan.
"Bukankah itu karena kau yang harus bertanggung jawab? Aku kan terluka karenamu," ujarnya enteng. "Kau tidak akan menutup lukaku dengan plester?"
Karena malas kembali berargumen dengannya, aku hanya diam sembari mengambil plester dan kassa steril, lalu menutup lukanya. Masih dengan gerakan kasar setengah hati.
"Terima kasih." Suho kembali tersenyum ke arahku.
Tanpa membalasnya, aku segera bangkit berdiri. Bersiap untuk meninggalkannya.
"Tunggu dulu! Dimana aku harus tidur malam ini?"
"Cari saja sana kamar yang kosong! Atau tidur saja di sofa. Terserahmu lah!" jawabku malas tanpa menoleh padanya, dan melenggang menuju ke lantai dua.
"Kalau begitu, apa aku boleh tidur di kamarmu saja?"
***
Hallo! Annyeong yeoreobun!
Karena suatu hal dan lain-lain ... maaf ya author update nya sangat lama sekali ...
Agar saya terus bersemangat melanjutkan ceritanya, mohon dukungan berupa vomment, ya! Kalau banyak yang vomment, saya update lanjutannya besok hehe :D
Gamsahamnida~ ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying a Gay Man?!
FanfictionIrene sedang dilanda keraguan tentang kelanjutan hubungan dengan tunangannya Suho-si pria dingin yang hampir tidak pernah mau berbicara kepadanya sama sekali. Hingga suatu saat, pria itu menjadi lebih banyak berbicara kepadanya. Setelah kejadian di...