Aku tahu, yakin, dan mengerti bahwa hatiku tidak bisa dibohongi. Jauh di dalam lubuk hatiku, sebuah kejujuran tentang perasaanku telah tergambar dengan jelas. Aku sadari perasaan itu, tapi selalu mencoba menepis segalanya.
Aku tahu bahwa aku sama sekali tidak mencintainya. Begitu pun dengan Suho. Tapi, yang selalu menjadi pertanyaan besarku selama ini. Aku mungkin punya alasan untuk menerima semua ini. Tapi, mengapa dia mau menerima tanpa penolakan pertunangan di antara kami?
Itu benar-benar masih menjadi pertanyaan besar, sekaligus hal yang sangat aneh bagiku.
Dari kaca jendela kamarku yang berembun, aku seperti membaca pikiranku yang dilema. Semenjak kami bertunangan, aku merasa diriku semakin sering melamun. Ada perasaan khawatir yang terus-menerus menggantung di hatiku yang kian bimbang.
Benarkah ini keputusan yang terbaik? Aku bahkan tak bisa meyakininya. Apakah mungkin cinta di antara kami akan timbul dengan sendirinya? Mungkinkah pernikahan kami bisa bahagia meski tanpa ada landasan cinta? Seiring berjalannya waktu, apakah hal itu mungkin akan terjadi?
"Irene sayang, apa yang sedang kau pikirkan?"
Sebuah suara halus bersamaan dengan belaian lembut di bahuku membuatku tersadar. Dengan mata sayunya, ibu menatap mataku dengan seulas senyuman khas miliknya.
Aku menggeleng lemah ke arahnya. Kemudian melihat titik-titik air hujan dari luar jendela.
"Aku hanya sedang memandangi hujan, bu. Tiba-tiba teringat masa kecilku dulu."
Aku tertawa kecil lalu melihat ke arah ibu. Dari raut wajahnya, aku tahu ibu sadar bahwa aku tidaklah berkata sejujurnya. Ibu selalu tahu saat aku berbohong, sekeras apa pun aku mencoba melakukannya.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu, sayang?" Ibu bertanya seolah tidak menanggapi ucapanku barusan. Dengan kedua belah tangannya yang hangat, ia lalu memegang kedua pipiku.
"Maafkan aku, ibu. Aku hanya tidak dapat melepas rasa ketakutanku. Membayangkan tentang pernikahanku dengan Suho."
Perlahan mataku terasa panas, dan air mata mulai bergulir dari sudut-sudut mataku. Dengan penuh kasih sayang, ibu lalu merengkuhku dalam pelukannya. Membelai rambutku, membuat perasaanku menjadi lebih lepas.
"Bukan kau sayang yang perlu meminta maaf. Tapi ibu. Ibu tahu persaanmu. Maafkan ibu, Irene," lirih ibu.
Suara isakan ibu terdengar seiring tangannya yang kian lemah membelai rambutku. Kami berdua pun larut dalam tangisan satu sama lain.
Meski tidak berkata apa pun, aku tahu bahwa ibu telah memahami perasaanku. Semua perasaan gundah tentang pernikahanku dengan Suho kelak. Juga, perasaan bersalah ibu tentang pertunanganku yang telah terlanjur terjadi.
"Eomma ...." Jinyoung yang tahu-tahu saja muncul di ambang pintu memanggil. Ia memperhatikan kami yang saling berpelukan dengan pandangan heran.
"Ada apa, Jinyoung?" Ibu menyeka kedua sudut matanya yang basah.
"Ada ibu Suho hyung datang." Jinyoung yang tampaknya baru datang selepas kuliah, kemudian ikut masuk ke dalam kamar.
"Kenapa ibu dan nuna menangis?" tanyanya penasaran, sambil memandangiku dan ibu secara bergantian.
"Tidak apa-apa, Jinyoung."
Ibu segera bangkit berdiri, kemudian kembali mengusap kepalaku. "Ibu menemui nyonya Han dulu, ya."
Aku mengangguk pelan. "Aku akan segera menyusul, bu," ucapku setelah ibu hampir mencapai pintu kamar.
"Nuna, cepat cuci mukamu! Lihat ingusmu sudah kemana-mana!" Jinyoung menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia lalu ikut berjalan pergi ke luar dari kamarku. Namun, sebelum benar-benar hilang dari pandanganku, ia berbalik.
"Aku tidak tahu masalah apa yang membuat nuna menjadi sedih dan menangis. Tapi, aku berharap nuna akan baik-baik saja setelah kesulitan yang kau dapatkan berakhir."
Jinyoung kemudian berlalu pergi, setelah mengatakan kalimat semacam itu yang jarang sekali ia ucapkan.
Aku hanya bisa tersenyum geli. Meskipun anak itu sering bertingkah menyebalkan, tapi terkadang Jinyoung bisa juga berbicara manis sekarang.
Semenjak menjadi mahasiswa, kuakui kelakuannya sudah menjadi jauh lebih dewasa sekarang. Tidak seperti dulu, yang kerjaannya hanya berkelahi serta usil denganku.
Aku pun segera bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci mukaku yang sembab. Kemudian turun untuk menemui ibu Suho.
"Ah ... bagaimana kabarmu, Irene?" sapa ibu Suho dengan begitu hangatnya, saat aku telah berada di ruang tamu.
Ia tersenyum ramah. Berbeda sekali dengan anak tunggalnya yang begitu cuek dan dingin itu.
"Baik-baik saja, nyonya Han," ucapku sambil membungkuk hormat.
Ibu Suho akhirnya tertawa kecil sambil menggoyangkan tangan kanannya.
"Bukankah sudah kubilang, jangan panggil aku dengan sebutan nyonya. Panggil aku 'eomeoni' saja ya, Irene?" pinta ibu Suho, masih dengan senyuman hangatnya.
"E ... eh ... iya ... eomeoni," jawabku canggung. Aku pun kemudian duduk di sebelah ibu Suho.
"Sebenarnya, aku mendengar Suho jatuh sakit pagi ini. Setelah pulang makan malam bersamamu tadi malam, dia pergi untuk memeriksa proyek pembangunan gedung di Incheon. Tapi, dia malah membiarkan dirinya kehujanan hingga jadi demam."
"Anak itu memang sangat berlebihan dalam bekerja. Padahal, aku ingin dia beristirahat saja di akhir pekan ini. Ibu ingin melihat kondisinya. Tapi, ia malah melarangku untuk datang ke apartemennya. Padahal, aku juga sudah bersikeras untuk membantu merawatnya."
Aku terdiam mendengarkan kata-kata ibu Suho. Jadi, sekarang dia sedang sakit?
"Irene, bisakah kau datang menengoknya?" pinta ibu Suho dengan wajah memohon.
Aku bisa merasakan kekhawatiran di wajah ibu Suho yang tak lagi muda itu. Ia lalu meraih kedua tanganku dan menggenggamnya.
"Kau mau melakukannya untuk ibu kan, Irene? Ibu rasa dia tidak akan menolak kedatangan calon istrinya."
Glek.
Aku menelan air liurku dengan susah payah. Mendengar kata calon istri mendadak membuatku merinding. Calon istri Suho? Kenapa rasanya panggilan itu terasa sangat aneh?
Apa yang harus kulakukan?
***
Footnotes:
1. Eomma: ibu.
2. Hyung: kakak laki-laki (panggilan oleh adik laki-laki).
3. Nuna: kakak perempuan (panggilan oleh adik laki-laki).
4. Eomeoni: ibu (ibu mertua).
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying a Gay Man?!
FanficIrene sedang dilanda keraguan tentang kelanjutan hubungan dengan tunangannya Suho-si pria dingin yang hampir tidak pernah mau berbicara kepadanya sama sekali. Hingga suatu saat, pria itu menjadi lebih banyak berbicara kepadanya. Setelah kejadian di...