[00b]

12.4K 1K 133
                                    

4-0

Hari itu Jimin berlari secepat yang ia bisa. Usai menerima kabar jika ibunya berada di rumah sakit dan tidak akan ada yang menjemput, Jimin meminta salah satu guru taman kanak-kanak mengantarnya. Seperti yang dikatakan orang-orang, Jimin itu cerdas. Tidak perlu mendikte untuk berpikir, dia akan bergerak lebih gesit dari yang orang tuanya kira.

Ia baru berumur 4 tahun. Di dalam kepalanya hanya terisi gambaran perut besar ibu yang mengempis, karena itu, langkah kecilnya berubah menjadi cepat meskipun guru yang mengantar meneriaki agar Jimin bisa pelan-pelan. Yang Jimin inginkan hanya menemukan ruangan bersalin ibunya.

"Jimin-ah? Bagaimana kau bisa sampai kemari?"

Itulah yang dikatakan sang ayah ketika Jimin berhasil mendorong pintu kamar. Ia melirik sekilas pada sang guru di belakang, mengabaikan obrolan ayah kandungnya setelah tahu apa yang terjadi. Jimin memilih pergi ke balik tirai, dimana ibunya tengah menatapnya dengan sorot sayu dan senyum penuh kebahagiaan. Meskipun ia masih bocah, Jimin mampu menebak apa yang terjadi. Ia melirik pada ranjang kecil di sebelah sang ibu. Tidak ada tangisan bayi, namun Jimin yakin disana ada seseorang.

Jadi bocah berwarna mata coklat madu itu memanjat ranjang ibunya, bersila memegang wajah perempuan yang paling ia cintai semasa hidup.

"Ibu, apa bayinya baik-baik saja?"

Dibalas senyuman teduh, sang ibu membelai surai caramel Jimin dengan lembut. "Adikmu baik-baik saja, lihatlah. Jimin mau memberi nama padanya?"

"Hei, kukira memberi nama adalah kesepakatan-"

"Jungkook, Jungkookie."

Barusan, ayah Jungkook menyingkap tirai. Mengundang tatapan Jimin dan ibunya. Namun belum selesai ayah memprotes tawaran sang ibu, Jimin terlebih dahulu berucap. Ia membalikkan tubuh mungilnya, memegangi ujung ranjang bayi.

Dua netranya lurus memandangi wajah gembil adiknya. Dua pipi merah muda dan bulu mata panjang, bukankah dia seperti boneka?
Jimin tertawa kecil. Tidak ada yang protes atas nama yang ia berikan pada adiknya. Bahkan sang ayah hanya melipat lengan di dada, menyenderi dinding usai menghela napas. Ibunya menatap kagum pada kegiatan Jimin yang tak henti menatapi adiknya.

"Baiklah, nama yang bagus Park Jimin. Adikmu pasti akan senang."
.
.
.

11-7

Tidak ada yang namanya liburan untuk musim panas tahun ini, Jimin hanya memikirkan ujian yang sudah di depan mata. Fokus pada tujuan melanjutkan di SMP pilihan, ia bahkan melewatkan pesta kembang api yang di selenggarakan di pesisir pantai Busan. Padahal biasanya ia tidak pernah melewatkan acara itu bersama Jungkook.

Jimin berhasil menolak rengekan adik kesayangan, menurutnya belajar adalah pilihan bijaksana daripada bersenang-senang. Ia berada di kamar, ditemani jus semangka dan AC menyala. Jimin baru selesai membaca rangkuman buku pelajaran, berniat menyicipi jusnya ketika tiba-tiba Jungkook menendang pintu dan melompat ke tempat tidur milik Jimin.

Dari meja belajar, Jimin hanya menghela napas melihat kelakukan adiknya. Tahu jika ini yang akan terjadi kalau berani mengabaikan Jungkook.

"Hyung, temani aku beli es krim di minimarket!"

Jungkook mulai merengek lagi, ia memiliki bakat untuk yang satu itu. Karena semua orang tahu, Jimin memiliki kesulitan tersendiri untuk benar-benar mengabaikan adik kesayangannya.

"Kenapa tidak beli sekalian tadi?"

"Nanti bisa-bisa hyung menggangguku makan es krim."

Cengiran lebar menghias wajah bocah bersurai coklat gelap, ia bersila di kubangan selimut, acuh dengan tatapan protes Jimin. Harusnya Jimin yang bilang begitu kan? Sekarang siapa yang datang ke kamar dan menganggu acara belajar (yang sudah selesai)nya Jimin?

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang