[11]

3.6K 669 92
                                    

Tidak ada informasi apapun yang Jungkook dapat bahkan setelah Jimin keluar dari rumah sakit.

Sebenarnya ini karena Jungkook yang tidak bertanya. Ia hanya melihat bagaimana Jimin menangis kemarin. Gemetar hingga tertidur, lalu menangis lagi ketika bangun. Hyung-nya itu bahkan tidak mau makan. Ketika Jungkook menanyakan apa yang terjadi pada dokter, mereka bilang Jimin terkena gejala trauma.

"Karena itu sebuah trauma, ada baiknya kau mengalihkan perhatian Jimin. Supaya dia bisa berpikir jernih dan melakukan aktivitasnya seperti semula."

Wejangan dokter kala itu membuat Jungkook semakin bingung. Ia tidak memiliki petunjuk apapun selain Yoongi dan Jimin. Jika tidak bisa bertanya pada Jimin, Jungkook berencana mendatangi Yoongi besok.

__

Jungkook mengintip pintu kamar sang kakak untuk kesekian kalinya. Memastikan kalau Jimin benar-benar terlelap, karena besok mereka sudah harus pergi ke kampus lagi. Yoongi berkata ia hanya bisa mengakali cuti Jimin selama tiga hari kerja—hari ini yang terakhir.

Jungkook menghempaskan tubuhnya ke sofa, kecapaian. Udara sejuk AC di ruang tamu harusnya bisa membuat rileks. Tapi Jungkook malah bercucuran peluh, memikirkan hubungannya dengan Yoongi yang mendadak baik disaat begini terasa amat konyol. Jungkook tidak berniat mengajak Yoongi sebagai mitra untuk melindungi kakaknya. Meskipun ia tidak keberatan melakukan apa saja untuk Jimin.

Karena rasa cinta pria itu tidak main-main, kadang Jungkook merasa terancam. Ia cukup peka hanya dengan melihat cara Yoongi memperlakukan Jimin.

"Aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak karena kau punya orang lain yang selalu ada untukmu selain aku, hyung. Aku tidak suka Yoongi. Tapi aku sangat menghargai usahanya."

Entah kepada siapa dia berbicara. Jungkook menutup netra perlahan. Membayangkan kebahagiaan untuk dirinya dan Jimin, seandainya mereka terlahir dengan darah berbeda, mungkin segalanya akan terasa mudah. Mungkin mereka tidak perlu bersembunyi.

Jimin dekat, tapi terasa jauh secara bersamaan.

Jungkook pikir dadanya terasa sakit sekarang. Memikirkan kenyataan yang mereka lalui hingga sekarang, tiba-tiba terlintas dalam benaknya pertanyaan;

Apa Jimin seperti ini karena ulahnya?

Apa Jimin bisa bahagia jika Jungkook mengalah?

Apa mereka harusnya berhenti saja?

"Mana bisa aku meninggalkannya."

Aliran air mata tiba-tiba terbentuk menuruni kedua sisi wajahnya.

Jungkook mengusap aliran itu, membiarkan telapaknya berada disana sementara ia menangis tanpa suara. Diam-diam Jungkook merasa lelah. Bukan lelah karena rasa cintanya pada Jimin, tapi lelah melihat kakaknya tidak bisa bahagia karena perasaan terlarang ini.
.
.
.

Mereka berjalan berdampingan ke ruangan Jimin. Yang tidak Jungkook mengerti, ada banyak orang berbisik ketika melihat mereka lewat. Benar-benar menyebalkan. Jungkook menahan amarah, berencana mencari akar permasalahan sehabis memastikan Jimin sampai dengan selamat di ruang kerja.

Namun langkah mereka malah terhenti dengan kehadiran Jisoo dan teman-temannya. Gadis-gadis itu menghalangi langkah Jimin dan Jungkook. Bertingkah seolah Jimin bukan dosen berpengaruh. Seolah mereka tidak memiliki rasa takut.

Netra Jisoo berpendar semangat ketika salah seorang temannya bergumam, memancing Jisoo untuk melakukan tujuan mereka berada di sini. Gadis itu membuka tas jinjingnya. Mengeluarkan beberapa lembar foto, menggoyangkan bagian belakangnya di hadapan Jimin dan Jungkook.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang