[04]

5K 801 87
                                    

Butuh waktu lebih dari 1 jam bagi Jimin untuk mengumpulkan keberanian. Ia mematung di tepat dibelakang pintu kamar, dengan kedua belah tangannya tergeletak lemas di atas kenop.

Jimin bangun dengan mata bengkak pagi ini. Tidak, subuh—bukan karena dia begadang semalaman. Tapi karena ia kesulitan mengendalikan rasa sakit dalam dada. Gemuruh yang meluluh lantahkan pertahanannya.

Mungkin bagi orang lain Jimin adalah tipe individu yang senang membiarkan masalah berlarut-larut, tanpa kepastian, terlalu mengikuti alur sehingga akhirnya berbalik menyakiti diri sendiri.

Percayalah, Jimin juga kesulitan. Jimin juga merasakan perasaan yang sama.

Mencintai.

Tapi tidak bisa berbuat sesuai kehendak hati. Tidak ada solusi.

Untungnya ini hari libur. Ia tidak perlu bangun untuk pergi ke kampus bersama Jungkook. Jimin bisa menghindari anak itu jika ingin. Tidak ada agenda khusus selain menyiapkan makanan atau tiduran di ruang tamu. Menonton televisi, memakan camilan ringan. Kehendak hati begitu. Faktanya, sekarang Jimin bahkan tidak berani melangkah keluar kamar.

Pengecut.

"Hyung, aku tau kau mendengarku."

Jelas Jimin terkesiap.

Dia hampir melupakan kenyataan bahwa mereka tidak berbeda. Jungkook, sejak tadi malam menunggu Jimin di depan pintu. Terjebak dalam penyesalan karena menyakiti hyung-nya.

"Buka, please."

Suara memelas diluar sana jelas membuat Jimin luluh. Tidak sampai hati mengabaikan, kenop pintu diputar. Jungkook berdiri didepannya.

Hanya berdiri mematung. Sorot karamel yang sama-sama dirundung rasa sakit. Meskipun mereka punya warna mata yang sama, Jimin akan tetap ribuan kali lebih indah di mata Jungkook. Sama halnya dengan Jimin yang selalu mengagumi rupa dan keberanian milik sang adik.

Jimin mencintai Jungkook bahkan sejak pertama kali terlahir di dunia.

"Aku tidak pergi, tidak jadi pergi."

Itu saja yang Jungkook katakan. Tatapannya terfokus pada bumbungan kulit di bawah netra Jimin. Hitam kebiruan, memudar dalam belaian jarinya, lalu kembali ke warna biru lagi. Jungkook merana melihat keadaan Jimin. Sungguh menyedihkan. Apa ini akibat pertanyaan bodohnya tadi malam?

Usapan lembut itu kian turun ke pipi merah muda, perlahan sekali sehingga Jimin memilih menutup matanya; menikmati sentuhan, merasakan desiran kasih sayang serta perminta maafan yang tulus.

"Tidak, lihat aku."

Tapi Jungkook mencegah. Lengannya pindah menangkup wajah sang kakak. Memaksa netra Jimin tetap terbuka, terpointer pada netranya.

"Beritahu aku, hyung. Kau juga mencintaiku."

Sungguh, dihujami pertanyaan seperti ini terus terusan membuat Jimin gemetar. Ketakutan. Kata tidak boleh terus-terusan menari dalam benaknya.

Tapi ia tahu Jungkook tidak akan pernah berhenti bertanya hingga bocah itu tahu kebenarannya. Tidak. Jungkook sudah tau, ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut Jimin.

"Tidak apa-apa. Katakan padaku, aku janji aku akan melindungimu. Aku janji, tolong jujurlah sekali saja."

Hati Jungkook serasa remuk melihat bagaimana Jimin berusaha keras menahan diri. Tahu betul jika pemuda itu tengah mengalami perseteruan batin. Sulit menyatukan realita dan harapan. Sulit berpikir rasional di saat perasaan ikut mengambil alih. Tapi Jimin begitu kuat. Terlihat dari buku jarinya yang memutih dalam genggaman, juga tatapan netranya sekeras batu.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang