[09]

4.3K 659 73
                                    

Min Yoongi membiarkan lengannya ditarik pergi, melangkah di belakang pemuda bersurai madu. Tidak ada yang mampu menahan kekesalan di ubun-ubun, bahkan untuk dirinya yang tenang, Yoongi mengakui keterbatasan emosinya ditentukan oleh Park Jimin. Dimana pemuda itu punya sejuta cara untuk menahan air mata agar tidak merembes ke pipi, Jimin memilih pergi sejauh mungkin dari area kampus bersamanya. Membawa dirinya.

Langkah pemuda itu buru-buru, lengan mungilnya berusaha tetap mengait jemari Yoongi. Jimin baru bisa berhenti ketika mereka sampai di pinggir gang sepi. Entah dimana. Yang jelas mereka sudah melangkah terlalu jauh. Dan Jimin punya kesempatan untuk melepaskan genggamannya.

Detik berikutnya Yoongi melihat bagaimana kedua bahu Jimin bergetar hebat. Ia cepat tanggap. Tanpa berpikir menarik tubuh kurus yang lebih muda ke dalam pelukan.

Yoongi tidak mau melihat Jimin menangis, tidak bisa lagi.

Jadi ia memilih untuk mendengar. Apapun. Apapun yang akan Jimin beberkan sepanjang sisa hari ini, akan ia dengarkan.

Beberapa menit diisi oleh isak teredam di kungkungan bahu, mungkin kemeja miliknya sudah basah kuyup, Yoongi tidak peduli. Jimin ada bersamanya saja sudah cukup. Pemuda pale itu menunggu hingga Jimin menjauhkan wajahnya—masih menunduk.

"Maafkan aku hyung, aku malah menyeretmu kesini."

Ucapannya tersenggal, sesegukan, menyakitkan hati Min Yoongi. Sungguh hal itu tidak pernah dipermasalahkan. Yoongi malah khawatir jika Jimin memilih lari sendirian tanpa dirinya.

"A-aku terlalu kaget dan..." Jimin menangis lagi. Sebelah tangannya sampai terangkat untuk menutupi wajah. Seolah hal itu bisa meredam air mata agar tidak lolos lebih dari ini. Di hadapannya, Yoongi diam menunggu. Menahan degup jantung serta raga supaya tidak kembali ke kampus dan meninju wajah Jungkook. "Mereka.. Berciuman."

"Aku tahu."

Kedua ibu jari Yoongi mengusap air mata Jimin ketika pemuda itu telah menurunkan lengannya kembali. Air muka kacau dan bengkak. Netra madunya sampai belepotan warna merah di daerah sklera. Jimin berusaha berhenti cengeng. Ia hanya tidak bisa.

"Harusnya a-aku marah, hyung... Tapi aku tidak bisa."

Nada kalimatnya semakin terdengar kacau. Jimin hampir menutup wajahnya kembali, tapi Yoongi keburu memeluk tubuhnya. Menyimpan wajah Jimin di bawah dagu.  "Sekalipun dia meninggalkanku, aku tidak akan menganggapnya orang yang mengerikan."

Yoongi menaut alis, tidak terima. Namun ia tetap berusaha bertanya. "Kenapa?"

"Karena dia adikku dan aku sangat menyayanginya. Aku... Sayang Jungkook bahkan ketika pertama kali kami bertemu. Aku menyayangi adikku."

Yoongi menghela napas berat, menutup netranya, mendaratkan sebuah ciuman panjang di rambut Jimin. Kadang bertanya-tanya, kenapa ia bisa begitu mencintai, berlaku tidak identik sebagaimana dirinya sendiri ketika segala hal berkaitan dengan Jimin. Yoongi ingin dicintai seseorang yang mencintainya sedalam ini— Sesederhana itu. Tapi ia malah terjebak pada pemuda yang bahkan tidak menyadari perasaannya. Meskipun begitu Yoongi tidak pernah menyesal.

.
.
.

Hari sudah gelap ketika Jimin menginjak lantai apartemen mereka. Lampu menyala terang di ruang tamu, tanda ada kehidupan. Beberapa jam waktu yang dihabiskan bersama Yoongi mendadak tidak berarti apa-apa ketika Jimin melihat Jungkook menoleh dari sofa.

Masih dengan pakaian sama, tatanan rambut yang sama. Namun raut wajahnya kacau luar biasa. Sarat akan rasa bersalah yang besar. Jimin menelan ludah. Tidak tahu harus melangkah keluar lagi atau kemana.

Dia sudah memaafkan pemuda itu, sungguh. Tapi belum siap bicara berdua atau dijejali pembicaraan bertema perkara tadi siang. Mata madu Jimin mematah kontak mata. Lengan kecilnya melepas kaos kaki dan sepatu. Menata benda itu di atas rak sebelah pintu.

Sampai ketika ia sampai dihadapan Jungkook—bersiap memasuki kamar dan mengurung diri disana semalaman, Jungkook terlebih dulu menarik tubuhnya.

Memeluk Jimin dari belakang.

Jimin berusaha mengingat, dulu hal ini pernah terjadi. Jungkook bahkan tidak marah padanya. Jadi ia tidak memiliki alasan untuk melepaskan pelukan adiknya ataupun menjauhkan diri.

"Hyung, maafkan aku." Bisikan dari yang lebih muda terdengar membekas sampai ke hati. Menimbulkan efek paradoks dimana Jimin berencana menenangkan diri sebelum melakukan apapun. "Aku bersalah, kau boleh marah padaku atau mencaciku. Tapi tolong jangan meninggalkanku."

Tidak ada yang berpikir untuk meninggalkanmu. Jimin berkata dalam hati

Faktanya mereka sama-sama merasa takut. Takut ditinggalkan. Takut terpuruk bahkan mati sakit hati. Jimin tidak pernah berpikir untuk pergi. Bukankah mereka sudah berjanji?

Hanya saja, Jimin butuh waktu. Hatinya bukan tameng, tidak selalu tahan banting. Melihat pemandangan tadi siang benar-benar membuat hatinya remuk. Bibir Jungkook yang biasa miliknya, dikecup perempuan lain. Jimin tidak bisa bilang dirinya baik-baik saja meskipun ia tidak marah.

"Aku mempercayaimu." Jimin menggenggam lengan Jungkook di pinggang. "Aku hanya tidak siap melihatnya. Jisoo sangat agresif."

Tawa jernih Jimin mengudara. Ia baru saja mencoba mencairkan suasana, mengubah konteks pembicaraan sarat akan luka jadi jenaka. Jimin benar-benar tidak suka melihat Jungkook bersedih. Karena ia yakin, disini bukan hanya dirinya yang mencoba bertahan. Mereka berdua sedang mencoba.

Yang lebih muda sempat terpana, tidak percaya. Sampai ketika Jimin berbalik menghadapinya. Lalu melingkarkan lengan di sekeliling lehernya. Kepala dilesakkan di perpotongan leher. Jimin benar-benar rindu dengan aroma adiknya. Jadi ia menghirup sedalam mungkin. Berbisik "Mungkin aku harus lebih cekatan supaya tidak ada celah untuknya—mengambil milikku."

Barangkali Jungkook keliru menilai reaksi kakaknya. Ia melupakan alasan mengapa dirinya jatuh cinta pada pemuda yang kini tengah memeluknya. Keistimewaan yang juga membuat Yoongi jatuh cinta.

Jimin terlalu baik— melebihi orang-orang yang pernah ia temui. Jika kebaikan orang-orang itu digabungkan jadi satupun, Jungkook yakin mereka masih tidak bisa melebihi kebaikan Jimin.

Jungkook tahu, hati pemuda itu begitu sabar, tegar juga rapuh disaat bersamaan.

"Aku bersumpah tidak akan mengecewakanmu lagi. Maafkan aku."

.
.
.

"Besok ada tanding basket dengan universitas sebelah. Kami tidak pernah libur."

Jisoo mengangguk. Ekspresi wajahnya sulit dibaca. Yang jelas, Taehyung kebingungan dengan tingkah gadis itu, tiba-tiba sering sekali muncul di depannya dengan mata sembab.

Beberapa waktu lalu, mereka sering bertemu karena Jisoo selalu menanyakan jadwal basket. Hari ini, dia datang kembali seolah amnesia dengan apa yang mereka bicarakan kemarin. Gadis itu tidak terlihat santai. Nampak memikirkan sesuatu, Taehyung tidak tahu. Namun yang jelas pasti berhubungan dengan Jungkook.

"Hei Jisoo."

Yang dipanggil menoleh. Jisoo mengerjapkan kedua mata gelapnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Jungkook?"

Taehyung tidak yakin mengapa ia bertanya. Bukan karena ingin ikut campur. Ia hanya ingin tahu alasan mereka jadi aneh akhir-akhir ini.

Sedangkan Jisoo, gadis itu tersenyum lebar atas pertanyaan Taehyung.

"Well, kau akan tahu secepatnya."

Setelahnya gadis itu beranjak, pergi meninggalkan tanda tanya dalam kepala Taehyung.

"Kenapa senyum Jisoo menjadi mengerikan begitu?"

Bersambung...

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang