Thirteen

2.9K 476 81
                                        

Kala permadani nila membentang luas menyelimuti langit malam, yang dilakukan Jaehyun adalah bergeming di tengah padang rumput yang luas. Beratapkan sungai perak yang terdiri atas milyaran butir bintang, serta cahaya sang dewi malam yang menduduki singgasana langit.

Kedua mata coklatnya merefleksikan konstelasi bintang, tapi binar yang menyorot dari sepasang bola kembar itu adalah sendu. Duka yang mendalam. Dan desau angin malam yang menerpa tubuhnya tidak bisa membawa beban batinnya pergi.

Pada malam yang ironisnya cerah itu, hati Jaehyun justru terempas jatuh hingga hancur berkeping-keping.

"Tuan Jung Jaehyun?"

Bersamaan dengan itu, suara gesekan antara rumput dan sol sepatu terdengar mendekat. Kendati telinganya mendengar, Jaehyun tidak menggubris. Pusat pandangannya belum mau beralih dari langit yang tengah menyenandungkan orkestra alam.

Langkah sepatu itu berhenti kemudian, tepat di belakang figur Jaehyun yang terlihat rapuh. Sang pemilik langkah meneguk ludah, berdeham untuk mencoba kembali menarik atensi. "Tuan muda Jung Jaehyun?" ulangnya.

"Apa kau mau bicara soal penobatanku menjadi ketua klan, Minhyun-ah?"

Mata sedikit melebar, kemudian Minhyun menunduk dalam disertai perasaan bersalah. "Benar, tuan muda. Usai pemakaman Ketua Jung, kita akan segera melakukan penobatan... untuk anda."

Kembali, Jaehyun hanya mendengar. Memindai debu bercahaya yang menyebar di langit kelam, lantas memakukan tatapannya agak lama pada yang bersinar lebih terang dibanding yang lainnya. Memejamkan mata sejenak, lalu Jaehyun mengembuskan napas panjang sebelum berkata, "baiklah."

Minhyun mengangguk paham, tidak sanggup mempertemukan pandangannya dengan sang pria Jung. "Terima kasih atas ketersediaannya, tuan muda. Saya tahu ini pasti berat bagi anda."

Kelopak mata Jaehyun kembali memejam. "Bagaimana keadaan ibu?"

Minhyun menarik satu senyum tipis yang mengguratkan sendu. "Beliau tertidur karena terlalu lelah menangis. Saat ini Tuan Kim berada di dalam tenda pengungsian ditemani dua orang pengawal."

Jaehyun mengangguk mengerti, tersenyum getir serta memberi catatan dalam hati untuk segera menemui ibunya begitu kembali ke tenda pengungsian nanti.

Setelahnya, suasana hanya diisi oleh keheningan. Minhyun masih berpijak di tempatnya berdiri, sementara Jaehyun belum menggulirkan pandangannya ke arah lain.

"Kalau begitu saya... pergi dulu, tuan muda," Minhyun akhirnya bersuara. "Anda pun beristirahatlah, ini sudah larut malam."

Jaehyun tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Aku masih ingin di sini sebentar lagi. Kau istirahatlah duluan."

Minhyun untuk sejenak hanya terdiam. Kedua tangannya terkepal di masing-masing sisi tubuh, merasa suatu basahan mulai menggenangi matanya. Kemudian ia menggelengkan kepala kuat-kuat, membungkuk dalam pada Jaehyun yang masih membelakanginya. "... Selamat malam, tuan muda."

Tanpa menunggu balasan, Minhyun cepat-cepat berbalik dan meninggalkan Jaehyun. Ia tidak bisa berlama-lama memandang punggung rapuh nan kesepian milik alfa Jung itu. Hanya mengingatkannya pada tragedi malam ini.

Dan hatinya pun pilu luar biasa, membayangkan bahwa seharusnya ada sosok Jung Yunho di sana, menemani sang anak dan memberi tepukan penyemangat baginya yang terpuruk dalam kesedihan.

Terlalu sakit untuk melihat bahwa kenyataannya, Jung Jaehyun berdiri seorang diri di sana.

Sementara itu, Jaehyun yang belum mengalihkan pandangannya dari langit kelam bertabur bintang menghela napas. Mata sewarna kenari itu sudah terkepung oleh lapisan dinding air tipis, ketika Jaehyun bermonolog dalam kesendiriannya.

Fated Mate; JaedoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang