7

682 23 0
                                    

Sudah tiga hari Adeeva dirawat di rumah sakit. Dan sudah 3 hari itu juga Aabir cuti agar bisa terus menemani Adeeva selama di rumah sakit. Ya walaupun Aabir hanya bisa menemani sampai jam 10 batas maksimal. Karena, bagaimanapun Aabir dan Adeeva belum sah dan belum muhrim.

"Dek udah jam 10 nih, Mas pulang yaa. Ada bunda kan."

"Yah Mas." Adeeva sangat sedih karna Aabir harus pulang. Padahal ia sangat ingin ditemani Aabir.

"Maafin Mas dek, gimanapun juga kan kita belum muhrim." Aabir memegang telapak tangan Adeeva.

"Makanya segera muhrimin lah Mas." Adeeva merajuk dengan wajah yang membuat Aabir gemas sendiri.

"Iya Mas tau. Tapi kan kamu juga tau sendiri alasannya. Mas tunggu Mbak Bira dulu. Dia belum bertemu sama jodohnya. Makanya bantu doa ya Yang."

"Iya Mas. Adeeva ngerti. Udah dibahas beberapa kali ko." Adeeva mencebik.

"Lah kamu toh yang duluan bahas. Ngertiin Mas ya dek." Aabir menatap Adeeva sendu.

"Nggeh Mas." Adeeva masih merajuk.

"Yaudah Mas pulang dulu ya. Kamu cepet sembuh ya. Jangan betah-betah di rs ah." Aabir mengelus lembut kepala Adeeva.

"Hemmmm. Hati-hati." Jawab Adeeva ketus. Aabir mengangguk. Dan Aabir hanya tersenyum melihat sang calon istri yang sedang merajuk minta di halalin.

"Yah, Bun. Aabir pulang dulu yah udah malem. Besok Aabir ke sini lagi."

"Iya nak, ibu paham. Maafin Deeva ya nak. Tau lah sifatnya seperti itu. Kebiasaan di manja Ayahnya. Bunda paham."

"Iya bun gapapa. Itung-itung latihan sebelum nikah." Aabir terkekeh.

"Kamu toh. Yowis hati-hati nak. Salam Ibu bapa mu yo."

"Nggeh bun. Assalammualaikum."

"Walaikumsalam."

Aabiir pun bergegas pulang. Dan senyum-senyum sendiri ketika mengingat Adeeva merajuk karna ingin segera dihalalkan.

"Dek dek, Mas pun pengen nikah segera. Tapi mau gimana lagi. Mas juga harus jaga perasaan Mbaknya Mas." Gumam Aabir dalam hati.

***
"Assalammualaikum" sapa Aabir seraya mendekati Adeeva yang sedang duduk diatas brankar.

"Walaikumsalam." Jawab Adeeva ketus.

"Loh masih ngambek toh."

"Pikir aja sendiri." Jawab Adeeva mencibik. Aabir hanya terkekeh melihat kelakuan Adeeva yang menggemaskan.

"Loh ayah bunda mana Yang?" Aabir sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Pulang dulu, mereka tau kamu mau kesini."

"Oh." Aabir sengaja hanya menjawab dengan singkat.

"Ih ngeselin." Adeeva mendelik.

"Loh kamu tuh kenapa sih dek? Lagi PMS yaj? Ngambek karna pengen dinikahin Mas? Pengen banget emang?" Aabir meledek Adeeva.

"Mas ihhhh ngeselin."

Aabir pun hanya bisa terkekeh. Aabir duduk disamping Adeeva seraya mengelus telapak tangan Adeeva yang bebas dari infus.

"Dek sayang dengerin Mas." Ucap Aabir lembut.

"Hmmmmm." Adeeva masih ngambek.

"Dek, liat Mas, Mas mau bicara." Adeeva pun menggerakan kepalanya keatas mencoba menatap Aabir.

"Yang, siapa sih yang ga mau nikah cepet sama kamu. Mas juga mau nikah sama wanita secantik dan sebaik kamu. Cuma Mas juga harus mikirin perasaan Mbak Bira."

Ya Aabira Amanina Kamayel adalah kakak perempan Aabir. Yang masih menunggu jodohnya datang untuk menikahinya. Ayah dan Ibu Aabir berharap Aabir tidak mendahului kakanya itu. Karna katanya akan menyakiti hati Bira. Padahal Bira sendiri tidak melarang Aabir untuk mendahuluinya. Tapi apalah daya Ayah dan Ibunya berharapnya seperti itu.

Adeeva lalu menunduk kembali. Dia seolah merasakan bagaimana kalo jadi Bira. Yang karna keegoisan Deeva, Bira harus sakit hati dilangkahi sang adik untuk menikah.

"Dek, ngerti kan?" Aabir merasa bersalah pada Adeeva.

"Adeeva ngerti Mas, tapi mau sampai kapan?" Ego Adeeva mulai kembali.

"Secepatnya Dek, bantu doa ya. Supaya Mbak Bira bisa segera bertemu sama jodohnya." Aabir tersenyum tulus pada Adeeva. Aabir takan mampu marah pada Adeeva. Walaupun Adeeva sering merajuk minta nikah.

"Adek cape Mas, harus ditanyai kapan nikah terus sama orang-orang di sekolah. Padahal Adek udah ada calonnya." Adeeva kembali menatap Aabir.

"Gak usah didenger dek. Mas bilang apa waktu itu. Senyumin aja. Gak usah dijawab. Mereka ga tau permasalahannya dimana." Aabir kembali mengelus telapak tangan Adeeva yang sedari tadi ia genggam.

"Capek Mas. Kuping Adek denger terus pertanyaan itu."

"Mas ngerti dek. Mas pun sama. Tapi Mas selalu senyumin orang yang nanya begitu. Toh mereka kan ga berhak ngatur hidup Mas. Kalo udah waktunya Mas juga bakal nikahin kamu. Sabar toh Yang. Sekalian nabung."

"Deeva ga perlu pernikahan mewah Mas. Sederhana aja. Yang penting ijabnya kan. Capek Mas." Adeeva kembali meneteskan air matanya.

"Udah toh dek. Selalu begini kalo udah bahas nikah. Kalo memang kamu cape nunggu. Mas ga larang kamu cari yang sudah siap menikah hari ini juga." Ucap Aabir dingin. Kesabaran Aabir sudah mulai runtuh.

"Ndak Mas. Deeva maunya Mas. Ga mau orang lain. Maafin Deeva Mas." Tangis Adeeva makin kencang.

"Gapapa. Mas tau perasaan kamu. Sekali lagi Mas ga larang kamu untuk cari yang lain kalo memang kamu ngebet nikah dek. Tapi Mas berharap kamu bersabar sedikit ya."

"Nggeh Mas. Maafin Deeva."

"Gapapa. Maafin Mas juga udah buatmu nunggu. Insha Allah secepatnya ya dek. Kita sama-sama berdoa." Aabir kembali tersenyum dan menarik Adeeva ke dalam pelukannya.

****

Hari ini Adeeva sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Namun tetap Adeeva harus bedrest di rumah. Sampai keadaan Adeeva lebih baik lagi.

Waiting MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang