BAB 5

1.8K 193 125
                                    

Sebelum berangkat sekolah, Rully menerima telepon dari Reza terlebih dahulu. Reza mengabarkan kalau Hakim sampai sekarang belum juga bisa ditangkap. Mau mencegat Hakim di depan sekolahnya, tetapi mereka takut nanti akan terjadi perselisihan antar sekolah yang berimbas pada masalah besar.

Bagaimanapun caranya Rully pasti akan menangkap Hakim. Dia sudah berjanji pada Pak Yusril akan membantu pihak kepolisian mengamankan daerahnya. Itulah sosok Rully. Meskipun geng motor sering dicap berandalan, tetapi berbeda dengan mereka. Berbuat baik adalah yang utama.

Jalanan Bandung pagi ini dikuasai oleh kebahagiaan Rully, sebab dia tidak mengantar adiknya ke sekolah, melainkan akan menjemput Purnama Sari di rumahnya. Semalam, mereka memang sudah berjanji akan pergi bersama, ya, hitung-hitung perkenalan lebih dekat lagi.

Sejak pertama Purnama duduk di jok motor belakangnya, Rully merasakan ada sesuatu yang berbeda. Perasaan itu sudah lama tidak dia rasakan, sejak kekecewaannya terhadap Tiara, mantan pacarnya, yang juga kakak kelas.

Motor yang dikendarai Rully berhenti di depan rumah Purnama. Di situ terlihat sudah ada Isa dan anaknya yang sedang duduk di teras rumah. Setelah Rully mendekat, mereka berdua menyambutnya dengan senyuman.

“Oh, ini yang katanya mau menjemput.” Isa membuka suaranya.

Rully celingukan mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. “Mau pergi sekarang?” tanyanya pada Purnama sesaat kemudian. Dia tersenyum pada Isa untuk mencairkan ketegangan.

Purnama mengangguk seraya tersenyum. “Kami berdua pergi dulu, ya, Bu. Assalamualaikum, Bu.” Purnama mencium punggung tangan ibunya, Rully pun melakukan hal yang sama.

“Nggak gugup lagi, kan, kalau ketemu ibu? Makanya, kamu sering-sering ke sini biar tahu kalau hati ibu ini hati malaikat. Baiknya nggak bisa tertandingi.” Isa terkekeh sembari berucap di hadapan Rully.

Rully tersenyum malu. Dia mengangguk mengerti atas ucapan Isa. Rully dan Purnama segera berangkat ke sekolah. Perasaan Rully menghadapi Isa seakan sedang ujian nasional, tegangnya berkepanjangan.

“Bandung sekarang banyak rintangannya, ya.” Rully berucap pada Purnama seraya mengendarai motornya.

“Maksudnya banyak rintangan?” tanya Purnama sedikit mendekatkan wajahnya. Kedua tangan yang melingkar di perut Rully tak dipermasalahkan olehnya. Dia malah lebih aman begini, soalnya Rully sewaktu-waktu bisa ngebut seenaknya.

“Mau jemput kamu aja serasa ada tantangannya gitu, tegang.”

Purnama tertawa sebentar. “Kamu belum tahu aja gimana baiknya ibu. Kalau udah tahu, kamu pasti betah lama-lama di rumah. Aku yakin malahan kamu akan tiap hari rindu.”

“Rindu? Rindu sama kamu maksudnya? Ya, itu udah pasti, gak usah diragukan lagi.”

“Idih, gombalan itu sebenarnya bagus, tapi karena kamu yang ngomongnya, ya, jadi sederhana. Coba yang ngomong itu Lee Min Ho, pasti aku bisa terbang.”

Rully tertawa. Sesaat kemudian dia kembali menyambung obrolan mereka. “Oh iya, ibu kamu kerjanya di mana? Kemarin aku gak lihat siapa-siapa selain kalian berdua.” Rully melihat perubahan raut wajah Purnama yang ditekuk sendu dari kaca spionnya.

“Ayah, ya ... kamu ingin dengar dia di mana sekarang? Kayaknya, sih, nggak usah bahas dia, ya, Rul. Aku udah janji sama ibu kalau gak akan bahas masalah itu lagi.” Dengan suara berat, Purnama mencoba membuat Rully untuk tidak menggiringnya membahas kembali masa lalu.

“Maaf kalau perkataanku tadi salah. Itu terserah kamu mau ngejelasin apa nggak, aku juga gak bisa memaksa. Kalau berat buat kamu cerita, ya, mending jangan. Simpan aja sendirian, aku gak akan paksa kamu buat ngasih tahu.”

Rully Andhra [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang