BAB 10

1K 119 134
                                    

Di kamar ini Rully merasakan kenyamanan. Nyatanya, sedari tadi dia menatap layar ponsel mengintip Instagram Purnama, melihat apakah ada foto-foto yang baru saja diupload. Dia ingin melihat wajah Purnama, meski hanya lewat sebuah foto.

Seharian tadi Rully memang tidak bersama Purnama. Dia menghabiskan waktu berkumpul bersama teman-teman di tempat Bang Jack. Tadi siang, mereka hampir saja mendapatkan Hakim. Akan tetapi, sayangnya Hakim mudah saja menghindari Rully dan yang lainnya. Dia lolos dari kejaran mereka.

Rully mencoba melupakan masalah tadi siang, dia tak akan terlalu memikirkan gimana caranya Hakim bisa dengan cepat menghilang. Tidak terlalu penting juga baginya memikirkan masalah itu. Untuk sekarang, pikirannya sedang diganggu oleh wajah Purnama yang terus melayang di kepala.

“Nggak bertemu kamu sehari aja rasanya udah rindu berat,” kata Rully. Jarinya terus bolak-balik melihat berbagai foto di Instagram Purnama. Ah, wajah cewek itu benar-benar sudah menghipnotisnya.

Tanpa diduga, ponsel yang sedari tadi dipegang Rully berbunyi tanda telepon masuk, itu dari Purnama. Dalam sekejap hatinya merasa bahagia melihat nama si penelepon. Purnama menelepon di saat yang tepat, di saat Rully sedang merasakan rindu.

“Ehem!” Rully berpura-pura berdeham.

“Kenapa ehem, ehem? Aku ganggu waktu kamu, ya?” tanya Purnama dengan suara lembut dari teleponnya.

“Eh, nggak, nggak. Aku punya banyak waktu untuk kamu, kok.” Rully langsung menyahuti perkataan Purnama.

“Serius nggak ganggu? Kalau ganggu, ya, aku tutup aja teleponnya.” Purnama terdiam sebentar. “Aku pikir kamu rindu karena nggak ketemu seharian, ternyata nggak, ya? Hm, aku salah. Berarti cuma aku yang rindu.” Dengan suara berat, Purnama berucap.

“Jangan ngomong gitu. Aku rindu, kok, sama kamu, nggak bohong.”

“Em, benar rindu? Seberapa besar rindunya?”

“Rindu gak bisa diukur dengan kata-kata. Rindu itu hanya keinginan yang menjadikan kita merasa sakit. Sakit karena gak bisa bertemu. Kamu jangan paksa aku untuk banyak menjelaskan kata rindu.”

“Hm, iya, iya. Sekarang lagi apa? Oh iya, tadi siang kamu di mana, sih?”

“Kalau aku jawab lagi mikirin kamu, apa bisa dipercaya? Masalah tadi siang itu, aku lagi kumpul sama teman-teman.”

“Tergantung, sih.”

“Tergantung gimana maksudnya?”

“Tergantung kalau kamu bicaranya serius atau cuma main-main. Aku gak mau kalau dijadiin beban pikiran buat orang lain. Apalagi orang itu sampai nggak bisa mengatur waktunya lagi.” Purnama tersenyum sumringah sesaat.

“Astaga! Kamu nggak akan pernah jadi beban pikiran buatku.”

“Jangan, ah, aku gak mau terus jadi pikiran buat kamu. Sekarang serius, kamu lagi ngapain?”

“Lagi ngobrol sama orang yang entah suatu saat nanti akan bahagia bersamaku atau nggak. Aku berharap, sih, bisa terus selamanya bersama dia. Dengannya, aku bisa merasakan nyaman, hari-hariku jadi lebih berarti.”

“Sebegitu berharapnya, ya, sampai-sampai ingin terus bersama. Kalau suatu saat kenyataannya berbeda dengan apa yang kamu harapkan gimana?”

“Entahlah apa yang akan terjadi. Aku belum bisa merencanakannya.”

Mendengar suara Purnama malam ini membuat Rully kembali bahagia. Obrolan sederhana itu berhasil mendatangkan perasaan yang masih belum bisa dijelaskan. Keduanya sama-sama terdiam sesaat.

“Gantian, dong, nanyanya lagi apa.” Purnama kembali bersuara.

“Kamu lagi apa sekarang? Maaf, aku nggak bisa basa-basi.” Rully tersenyum sendirian setelah mendengar kembali suara Purnama.

“Lagi berdoa supaya besok bisa bertemu dengan ketua kelas XI IPA-1 yang nakal. Berdoa juga supaya besok dia nggak nyebelin dan humornya masih ada agar aku bisa tersenyum.”

“Serius doanya seperti itu? Berarti aku gak akan pernah buat kamu illfeel. Kalau buat kamu jadi sayang sama aku, gimana? Nggak ada masalah, kan?”

“Iya, doanya seperti itu.” Purnama terdiam, kemudian kembali berucap, “Hm, kalau bisa buat aku jadi sayang sama kamu, ya, nggak masalah. Aku gak akan marah, kok, malahan senang. Aku agak ragu kalau kamu benar-benar bisa.”

“Ah, bisa aja mancingnya. Hahaha. Apa, sih, yang nggak bisa Rully Andhra lakuin. Apalagi buat satu cewek jadi sayang, itu mudah, kok. Lihat aja entar, dalam waktu dekat aku pastikan kamu akan jadi sayang sama aku.”

“Idihh, tingkat percaya dirinya terlalu tinggi. Awas, entar jadi malah diduluin orang bisa gawat. Hahaha. Hati gak bisa dipaksa untuk saling mengerti.”

“Namun, hati bisa dibikin luluh dengan perhatian yang tulus.” Rully dengan cepat merespons perkataan Purnama.

“Iya, tulus disertai modus, kan? Aku udah tahu intinya.”

“Kalau setiap perhatianku kamu pikir itu modus, jadi harus gimana lagi aku menjelaskan kalau kamu itu sangat berarti bagiku? Aku nggak perlu datang ke rumahmu sekarang buat ngasih cokelat atau bunga, kan?”

“Nggak perlu, kok. Kamu cukup buat aku bahagia aja. Seiring waktu berjalan, aku akan mengerti kenapa ada seseorang cowok yang sangat ingin memiliki hati ini.”

Senyum Rully mengembang setelah mendengar perkataan yang keluar dari mulut Purnama. Perkataan itu bisa membuat dia dengan cepat mencerna artinya. Bagi Rully, ini adalah malam yang akan sulit dilupakan. Meskipun mereka tak lagi berdekatan, tetapi hati bisa merasakan perasaan yang datang.

Setelah cukup lama menutup mulutnya, kini Rully mengakhiri dengan ucapan selamat malam dan kata-kata sederhana yang membuat Purnama bisa tersenyum. Telepon mereka berakhir, kemudian Rully duduk di atas kasur sembari memetik senar gitar.

Waktu terus berputar seiring lagu-lagu yang Rully nyanyikan. Suaranya sederhana, tetapi bisa menghibur diri sendiri. Sambil bernyanyi, dia membayangkan wajah Purnama yang lekat dalam ingatan. Senyum Purnama yang pernah dilihatnya saat mereka sedang bersama tak pernah terlupakan olehnya.

"Kata orang, cinta itu datang tanpa diundang, tapi datang karena keinginan. Apakah dia juga menginginkan cinta itu hadir? Kalau memang iya, berarti langkahku untuk mendekat semakin besar. Semoga saja dia juga mengharapkan hal serupa," kata Rully sendirian.

"Eh, apa-apaan, sih?! Kenapa malam ini jadi bucin gini, Rully? Sadar, sadar. Jangan sampai dia diambil orang. Makanya buruan ungkapkan. Ah ... kenapa pikiranku jadi kusut gini? Astaga, Rully, Rully. Akhhh ...." Rully mengacak rambutnya geram.

Entah apa yang sedang terjadi dengan dirinya, Rully berucap seakan memarahi diri sendiri. Begitukah rasanya kalau sedang bahagia karena seseorang? Ini bodoh atau memang wajar dialami seseorang?

Rully menaruh kembali gitar di atas kasur lalu menarik kursi di depan mejanya. Dia duduk dan mulai menulis seperti malam-malam sebelumnya. Kisah ini mungkin suatu saat nanti dia bagi kepada orang-orang di sekitar, tetapi entah siapa yang pertama kali akan melihat tulisan-tulisan itu.

Tulisan yang tersusun rapi itu membentuk kisah menjadi beberapa lembar dalam satu hari. Semuanya tercurah dari hati yang ingin meninggalkan kenangan di atas kertas putih dengan tinta hitam. Jari-jari itu menjadi bukti bahwa Rully saat ini pernah bersembunyi di balik sifat sederhananya. Detik jam itu menjadi saksi bahwa dia pernah duduk di kursi ini merangkai banyak kata.
______________________________

Sumpah, author sendiri pun senyum-senyum pas ngetik ini. 🙈

Purnama Sari & Rully Andhra bener-bener pasangan yang cocok 99%, 1% lagi tinggal keberanian saja saling mengungkapkan.

🤭🤭😊🙈

Senyum-senyum sendiri euy.

Kita sambung kisah mereka berdua besok. Jangan lupa vote dan beri komentar. Share juga ke orang lain. Ajak mereka untuk membaca kisah ini.

Rully Andhra [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang