BAB 12

826 105 120
                                    

Sekarang jam istirahat sedang berlangsung. Rully, Reza, Garry dan Tomi berjalan menuju kantin untuk menuruti kehendak perut yang sedari tadi berbunyi. Beberapa siswi menegur Rully hanya untuk melihat dia tersenyum. Bagi mereka, teguran yang disambut ramah itu sudah membuat semuanya senang.

Para murid SMA Bakti Mulya mengagumi Rully bukan hanya sekadar karena dia menjabat ketua geng motor, tetapi sikap solidaritas sesama teman membuat semuanya mengacungkan jempol. Mereka sudah tahu persis gimana cara Rully bersahabat dengan teman-temannya. Terkadang, di sekolah ketika Rully terlibat perkelahian, itu karena dia membantu temannya yang dikeroyok, bukan dia yang cari masalah.

Rully dan teman-temannya sedang menuju area kekuasaan mereka. Itu, sih, menurut pendapat orang-orang, kalau Rully sendiri tak acuh dengan sebutan kantin sebagai area mereka.

Dari arah berlawanan, Rully melihat ada Devan sedang berjalan hendak menuju kantin yang sama. Devan bersama teman-temannya seperti tak memedulikan Rully yang tengah menatapnya sinis. Dia melewati Rully begitu saja masuk ke area kantin.

“Eh, siapin meja khusus untuk Devan dan teman-temannya,” suruh Rully pada teman-temannya seraya mengimbangi langkah kaki Devan. Rully menuntun Devan menuju tempat duduk yang sudah disiapkan oleh teman-temannya. “Tenang aja, Van, kamu gak usah khawatir. Pokoknya di kantin ini bebas mau ngapain, asal jangan telanjang. Satu lagi, pastinya harus bersikap ramah sama siswi-siswi, supaya kejadian waktu itu nggak terulang lagi.” Rully menyindirnya agar membuat Devan mengingat saat perkelahian mereka.

Devan menatap Rully kesal. Kedua matanya tajam ke arah Rully yang sudah berjalan menjauh menuju tempat duduk mereka—di bagian pojok paling belakang sebelah kanan. Amarah Devan hanya menggumpal dalam hati, dia tak bisa melawan karena sudah tahu siapa sosok Rully Andhra.

Tangan sebelah kanan yang sering sekali menangkis pukulan stik bisbol masih merasa gemetar menghadapi Rully. Mengingat kejadian dipukuli habis-habisan oleh Rully membuat batinnya merasa kesal. Ejekan untuk diri sendiri yang seolah pecundang terus bergumam dalam hati. Sejak kejadian waktu itu, Devan jadi lebih ramah kepada para siswi SMA ini, terutama siswi XI IPA-1, kelas Rully.

Di tempat duduknya, Rully memutar bola mata kembali ke arah Devan. Dia tersenyum sinis mengejek, mencoba membuat Devan merasa benci. Rully terkekeh ketika mengingat cara berkenalan mereka yang tak biasa. Berkelahi, setelah itu baru mengenalkan diri sama Devan.

Tanpa diduga, Bu Tia, penjaga kantin, menghampiri Rully dengan membawakannya pesanan bakso. Rully mengernyitkan dahi bingung. Dia belum memesan apa-apa, tetapi Bu Tia malah memberinya makanan. “Ini pesanan siapa, Bu?” tanya Rully.

“Ini pesanan untuk kamu.” Bu Tia menjelaskan.

“Lah, aku belum pesan apa-apa, Bu. Siapa yang mesanin?” Rully jadi tambah bingung. Meski dalam keadaan bingung, dia tetap memakan baksonya.

“Itu, anak yang duduk di depan,” kata Bu Tia menunjuk siswi yang duduk di barisan depan. Siswi itu duduk bersama teman-temannya.

“Oh, terima kasih, Bu.” Rully beranjak dari tempat duduknya, dia menghampiri siswi yang dimaksud Bu Tia. “Kamu yang mentraktir bakso itu? Terima kasih, ya.” Senyumnya membuat siswi itu merasa bahagia lantaran niat baiknya diterima.

“Iya, sama-sama, Kak,” ujar siswi itu bahagia.

Rully berjalan kembali ke tempat duduknya. Mereka menghabiskan waktu istirahat di kantin dengan menikmati makanan yang dipesan. Beberapa orang yang datang dan pergi dari kantin menyempatkan diri untuk menegur Rully. Cowok itupun dengan ramah menyahuti mereka semua, dia tak pernah sombong.

Sebelum bel masuk berbunyi, Rully dan teman-temannya sudah beranjak dari tempat duduk. Tomi dengan berani menghampiri Devan sebentar hanya untuk mengejeknya dengan sebutan “Anak Mami”. Setelah itu dia menyusul Rully dan yang lainnya pergi. Dari cara Devan menatap Tomi, jelas kebencian dan amarah menjadi satu.

Rully Andhra [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang