Krist melemparkan sekaleng beer pada gadis yang tampak frustasi di sudut rumahnya. Ia memandang jengah sahabatnya sejak kecil itu.
Krist tidak punya siapa-siapa. Ayahnya tidak jelas siapa orangnya, ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Seluruh orang di lingkungan ini adalah keluarganya. Terkesan klise. Tapi itulah kenyataannya. Jika tanpa mereka mungkin Krist sejak dulu sudah jadi mayat.
"Aku kalah lagi!" Prae menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Ia dan Krist berbeda. Krist seolah sudah lahir untuk menjadi petarung? Sementara dirinya? Mampu bertahan hidup saja sudah merupakan sebuah keberuntungan.
Krist duduk di sofa reot milik Prae. Melipat kedua tangannay didepan dada.
"Apa yang kau bingungkan soal itu? Tidak usah membingungkan hidup, jika di pagi harinya kau masih bisa mabuk." Krist menggendikan bahu tak acuh.
Prae berdecih. "Sial kau."
Prae membuka penutup beer, suara desisan itu terdengar nyaring. Prae meminumnya dengan sedikit rakus. Ia butuh peralihan, Krist sepertinya melakukan sesuatu tanpa perlu diminta.
"Ah ya!" Prae seperti teringat sesuatu. Ia bangkit, duduk berhadapan dengan Krist. Memasang wajah serius. Prae punya wajah cantik, ia bisa saja menjadi salah satu anggota rumah bordil. Tapi tampaknya Prae lebih suka tantangan dibanding desahan.
"Apa?" Krist bertanya, menaikkan salah satu alisnya.
"Beberapa hari ini aku sering melihat mobil mewah terparkir di dekat perempatan."
"Polisi?" Krist memberi usulan. Prae menggeleng.
"Bukan. Aku memang tidak pernah lihat siapa orang yang ada di mobil itu. Tapi jelas itu bukan polisi." Prae meneguk kembali beernya. "Dia seperti sedang mengintai seseorang."
Krist berpikir sejenak, apakah akan ada keributan lagi? Tapi hatinya mengatakan tidak. Lalu siapa orang yang Prae maksud? Apakah mata-mata? Atau detektif? Krist terus menerka-nerka didalam benaknya.
Satu hal yang paling mengganjal, jika dia ternyata orang biasa bukan bagian mata-mata atau detektif. Untuk apa dia mengintai? Siapa yang dia cari?
"Tidak usah dipikirkan." Krist menenangkan Prae. Walau dalam hatinya ia masih bertanya-tanya dan penasaran.
.
.
Hujan turun sejak tiga jam yang lalu. Langit baru berhenti memuntahkan air ketika jam menjelang senja.Aroma sampah dan tanah tercium tajam. Membuat perut mual. Tikus berbadan gemuk berlarian kesana dan kemari.
Genangan air mengisi jalanan berlubang.
Krist memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket. Menghalau rasa dingin yang datang. Walau usianya sudah 30 tahun, Krist tak terlihat setua itu. Siapapun akan mengira Krist baru menginjak usia awal dua puluh.
Jika diteliti, wajah Krist tampan sekaligus manis. Ia punya lesung pipi yang jarang sekali tampak. Ia memiliki sepasang bibir tipis dan rahang yang lembut. Tatapan matanya tajam nan waspada, namun juga bulat.
"Oh shit!" Krist mengumpat keras ketika kakinya menginjak genangan air. Sepatu putihnya basah. Berubah menjadi kecokelatan. Yakinlah berjalan dengan sepatu basah bukanlah hal yang menyenangkan.
Krist mempercepat langkah kakinya. Ia ingin segera sampai di flat tempatnya tinggal. Tidur pulas dan mengumpulkan tenaga untuk pertarungan selanjutnya.
Pria itu berhenti melangkah di perempatan, apa yang Prae katakan benar. Sebuah mobil mewah terparkir disana. Krist merasa bergidik, seolah ia sedang diamati dengan serius.
Krist menelan ludahnya kasar, ia menutup kepalanya dengan hoodie dan melangkah lebih cepat. Segera menjauh dari tempat itu.
.
.
Singto tersenyum miring melihat Krist memandang mobilnya penuh rasa penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fighter [SingtoxKrist]
FanfictionSepuluh tahun lalu bagi Krist, Singto hanyalah bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa. Penolakan menyakitkan mendorong Singto untuk membuktika pada Krist bahwa dia bukanlah orang yang bisa diremehkan. Singto tumbuh menjadi seorang pembunuh bayaran h...