15. Pressure

6.8K 755 69
                                    

"Kapan adik bayi akan lahir?" Nam tersenyum lebar, mengusap rambut hitam Yume. Bocah berusia 10 tahun itu memang sednag banyak bicara dan bertanya. Usia kehamilannya sudah menginjak bulan ke-9, ia akan melahirkan sebentar lagi.

"Sebentar lagi, Yume."

"Uhm, apakah nanti ketika dia dewasa akan ada pangeran tampan yang mejemputnya?" Yume berputar-putar, terkikik dengan bayangannya sendiri. Kalung berbandul persegi lima yang dikenakannya bergerak. Rambut hitamnya berkibar.

Nam terkikik melihat tingkah Yume yang menggemaskan. Seorang bocah perempuan yang ia temukan didepan rumah bordil. Hampir mati dan Nam merawatnya hingga sembuh. Menganggapnya selayaknya putrinya sendiri.

"Aoo, jika dia laki-laki bagaimana?"

"Eh?" Mata bulat Yume mengerjab. "Memang laki-laki tidak boleh dijemput pangeran juga? Nanti adik bayi akan tinggal di kastil yang sangaaat tinggi bersama pangeran dan mereka akan bahagia!" Tawa Nam semakin meledak mendengar celotehan Yume. Ia mengangguk, membiarkan Yume berbicara sesukanya.

Nam memetik sebuah bunga dandelion untuk Yume.

"Yume, jika nanti aku sudah tidak ada. Mau berjanji sesuatu?" Yume mengamati bunga dandelion ditangannya.

"Apa?"

"Bisakah jaga adik bayi dan lingkungan kumuh?"

.
.
"Ini robotmu kan? Aku menemukannya ketika membersihkan ruangan tuan Knott." Krist menyodorkan Ai'Oon pada Singto. Dalam hati Krist berharap agar Singto tidak marah. Singto mengambil Ai'Oon, memandangnya lama.

"Ibu memberikannya di ulangtahunku yang keempat. Aku benci sekali pada siapapun yang mencoba menyentuhnya, karena hadiah ini sangat berharga." Krist menelan ludahnya gugup. Ia takut sekali hal ini membuat Singto merasa sensitif. Singto memeluknya sekilas.

"Maafkan aku."

"Tidak apa-apa." Balas Singto. Ia memasang wajah datar dibalik punggung Krist. Krist melingkarkan tangannya di lengan Singto.

Keduanya memisahkan diri. Krist merapikan tuxedo hitam Singto. Hari ini adalah hari dimana Singto akan diangkat menjadi ketua, maka waktunya untuk kaburpun tinggal menghitung hari.

Tapi entah mengapa Krist merasa Singto sedikit berubah. Pemuda itu tidak lagi kasar dan memperlakukannya secara baik. Apakah ini adalah imbas dari sikap penurutnya?

"Uhm, aku harus menemui Jan sebentar. Tidak apa-apa kan?" Tanya Krist. Ia menyentuh wajah rupawan Singto.

Singto mengangguk. Entah sampai kapan keduanya akan saling bersikap palsu. Krist keluar dari dalam ruangan, meninggalkan Singto yang kini meraih ponselnya.

Menghubungi Sakura.

.
.
Singto melemparkan uang-uang keatas meja. Em memandangnya dengan terkejut dan bingung. Apa maksud pemuda ini?

"Apa ini?!"

"Aku tidak bisa membunuh Krist." Singto menghembuskan asap rokoknya. Bersikap tenang didepan pria paruh baya dihadapannya. Menopang salah satu kaki dengan kakinya yang lain.

Wajah Em memerah karena marah. Ia tidak terima dengan apa yang baru saja Singto ucapkan.

"Kita sudah sepakat bukan?!" Jerit Em tidak terima. Singto menekan rokoknya diatas asbak hingga mati. Melipat kedua tangannya, memandang Em tajam sekaligus jijik.

"Aku batalkan."

"Kau-"

Srekk

Em diam. Tubuhnya bergetar, matanya melebar. Singto mengarahkan pistol ke kepalanya. Wajah pemuda itu sangat dingin.

Fighter [SingtoxKrist]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang