08

438 93 5
                                    


Sean membuka pintu rumahnya dengan kencang, menaiki setiap anak tangga satu-persatu dengan nafas memburu.

Pintu dengan nama ‘Joyana’ itulah tujuannya, dan disinilah dia sekarang. Berdiri di depan pintu dan mengetuknya dengan tidak sabaran.

Tak ada jawaban, sekali lagi Sean mengetuknya, kali ini lebih keras.
Melihat tidak ada gunanya dia mengetuk pintu dan menunggu Joyana untuk membukakan pintu, Sean memilih untuk mendobraknya, membuat beberapa engsel pintu sedikit terlepas dari tempatnya.

Sean mengepalkan tangannya melihat Joyana yang masih meringkuk di dalam selimut. Joyana tau Sean berada di dalam kamarnya tapi dia malas untuk meladeni pria itu sekarang, dia ingin tidur.

Dan tidak bisakah Yeri menyeret kakaknya ini?

Ah Yeri, Joyana ingat, gadis itu semalam memberitahunya jika dia akan pergi bersama temannya di pagi hari.

Sean menyingkap selimut yang dipakai Joyana.

“Apa yang kamu lakukan?”

Joyana berusaha menarik selimutnya kembali tapi Sean langsung membuang selimutnya jauh dari jangkauan Joyana, membuat gadis itu mengerang kesal dan ingin menghajar Sean.

“Kenapa dengan tubuhmu itu?”

Joyana melihat badannya dan memejamkan matanya kesal. Dia hanya memakai tanktop sekarang! Ayolah, dimana dia akan menyimpan rasa malunya sekarang?

“Aku Tanya, kenapa dengan tubuhmu itu?”

Joyana tidak mempedulikan Sean, dia berusaha beranjak dari kasurnya. Beberapa kali dia meringis sakit. Tapi langkahnya terhenti karena Sean menahan lengannya, “Mau kemana?”

“Biarkan aku memakai kaosku dulu baru aku menjawab pertanyaanmu!”

Sean melepaskan lengan Joyana dan membiarkannya mencari kaos di lemarinya. Sean berdecak sebal melihat Joyana yang kesulitan memakai kaosnya dan meringis kesakitan. Tidak bisakah Joyana meminta tolong padanya?

“Biarkan aku membantumu!”

Joyana memberikan kaos yang dipegangnya pada Sean, membiarkan pria yang setahun lebih muda dari Chandra ini membantunya memakai kaos.

Setelah memakai kaosnya, Sean menarik lengan Joyana dan menyuruhnya untuk duduk di kasur, sedangkan Sean sendiri berdiri sembari bersidekap memandang Joyana.

“Jawab pertanyaanku Joyana Tanvir!”

“Aku terjatuh, itu saja. Kenapa lukaku lebam? Saat terjatuh aku membentur benda keras. Sudah itu saja!”

Sean berdecak dan mengambil kursi belajar yang tidak jauh dari tempatnya, menempatkannya di depan Joyana dan dia duduk tetap dengan mata memicing pada Joyana.

“Jujurlah!”

“Aku sudah mengatakannya padamu, apalagi yang ingin kamu dengar?”

Sean menghela nafas. Dia masih ingat ketika beberapa orang yang ikut lari pagi bersamanya membicarakan kejadian yang terjadi tadi malam.

Seorang gadis yang hampir diperkosa dan mendapatkan beberapa pukulan dari beberapa preman setempat, untung saja ada yang berteriak meminta pertolongan hingga hal terburukpun tidak terjadi.

Sean tidak peduli sebenarnya, tapi mendengar ciri-ciri gadis yang mereka sebutkan membuat Sean langsung naik pitam.

Joyana yang tampil acak-acakan semalam adalah buktinya ditambah dengan beberapa lebam di badannya. Sean tidak mengerti kenapa Joyana memilih menyimpannya rapat-rapat dan tidak mengadu padanya atau Yeri misalnya?

“Apa aku harus menyeret preman-preman itu agar kamu membuka mulut?”

Joyana bungkam, Sean mengetahuinya. Apa dia akan melaporkannya pada Chandra? Tidak, tidak, itu tidak baik. Chandra akan bersikap berlebihan jika mengetahuinya.

“Apa mereka menyentuhmu Joyana?”

Menyentuh? Sial, kenapa Sean harus mengingatkannya pada kejadian semalam?

“Joyana,”

Tidak tau kenapa, Joyana merasa dia menahan nafas saat sean menyentuh bahunya. Badannya sedikit gemetar dan Sean menyadari itu. Dengan cepat dia memegang kedua bahu Joyana dan menyuruh Joyana untuk menatapnya, “Bernafas Joyana! Aku tidak akan melakukan apapun padamu. Sekarang dengarkan aku, ambil nafas dan hembuskan. Itu akan membuatmu lebih baik!”

Joyana masih menatap Sean di depannya dan mengikuti apa yang diperintahkan lelaki itu padanya. Ambil nafas dan hembuskan, Joyana melakukannya beberapa kali. Sean sedikit tersenyum dan itu tidak lepas dari tangkapan Joyana.

“Merasa lebih baik?"

Joyana mengangguk.

“kamu sudah mengobati lebamnya?”

Joyana menggeleng membuat Sean mendengus kecil. Tanpa mengucapkan apa-apa, Sean berbalik pergi meninggalkan Joyana yang masih diam mengikuti pergerakannya. Tak berapa lama Sean kembali sembari membawa kotak obat.

“Buka kaosmu dan berbaring, aku akan mengobatinya!”

“Aku bisa sendiri!”

“Jangan membantah Joyana, atau sekalian saja aku menambah lebammu itu?”

“Aku akan mengahajarmu jika aku sudah sembuh.”

“Ya, ya, ya. Lakukan sesukamu!”

Setelah perdebatan kecil itu, Joyana membuka kaosnya dan berbaring. Membiarkan Sean mengoleskan salep pada beberapa lebam di tubuhnya.

Joyana merasa pipinya memanas melihat Sean dengan telaten mengobatinya sembari menunduk.

Tanpa Joyana sadari, tangannya terulur menyentuh rambut Sean yang berwarna coklat keemasan, ada senyum kecil yang terpatri diwajahnya. Rambut Sean sangat halus, mungkin pria yang sedang mengobatinya ini selalu pergi ke salon untuk perawatan.

“Joyana,”

“Hmm?”

“Aku akan menciummu.”

“Eh, Apa?”

Terlambat,

Sean sudah menempelkan bibirnya pada bibir Joyana membuat Joyana mengerjapkan matanya beberapa kali.

Sial, kenapa ini sangat manis?

Apakah Joyana mendorong Sean dan menampar pria itu? Oh ayolah, itu tidak mungkin terjadi, karena Joyana juga ikut menikmatinya, sama seperti Sean. Mereka memejamkan mata dan menikamti tautan mereka, tak ada yang berinisiatif untuk melepaskannya.

Sangat manis sampai Sean berani mengurung Joyana dibawahnya.

***

Yesss,You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang