Payung[1]

26 15 5
                                    

Kota Jakarta masih diselimuti hujan hingga sore ini. Untungnya ruang Apartement itu kedap suara sehingga anak anak muda yang di dalam sana tidak terganggu dengan suara hujan atau petir yang sesekali menggelegar.

"Ra, Kakek lo jadi buka cabang lagi?" tanya Yuna yang meliht siaran berita di Tv menampilkan cabang perusahaan baru milik keluarga Dirgantara.

Gadis berambut orange, bermata biru pekat dan wajah yang tegas itu hanya berdehem singkat sebagai jawaban.

"Btw, lo baru dari London gak bawa oleh oleh gitu?" kini Angga yang bertanya sambil mendudukkan dirinya di sofa putih yang juga diduduki oleh gadis itu.

"Gue lupa," jawabnya ringan seketika semua teman temannya memandangnya dengan wajah Hachi.

"Dua minggu lagi gue ke Amerika, ntar gue bawain deh apa yang kalian mau."

"Gue mau burger McDonalds yang ori!" Chika berujar pertama, dia memang dikenal sebagai penggila burger.

"Keburu basi! disini juga ada." Adam protes, Chika selalu membuatnya ingin memprotes setiap perkataan yang keluar dari bibir gadis itu.

"Nyambung aja!"

"Gue jam Timex."

"Buset lo kira harganya goceng!" komentar Adam lagi tapi bukan untuk Chika.

"Bodo amat uangnya di museumin juga kaga abis." Adam membenarkan ucapan Angga.

"Gue patung Liberty aja deh."

Semua terdiam.

"Yakali Nath tuh patung di tebas." kali ini Yuna yang protes. Nathan kalau ngomong memang suka asal.

"Lah terus apa dong? Amerika kan kampung halaman gue, semua udah pernah gue cobain sampe bosen."

Semuanya mengangguk anggukkan kepala, Nathan ada benarnya juga.

"Yaudah lo gak usah."

"Mampus lu." secepat kilat Nathan menjitak Angga dengan kuat.

"Ra, lo baru sampe tadi pagi ya?"

"Sampe di Indo maksudnya?"
Adam mengangguk, "iya."

Chika memasang ekspresi terkejut. Dia baru sadar kalau kemarin temannya itu bilang akan lima hari di London tapi ini baru hari ke empat cewek itu udah disini sekarang.

"Berarti lo langsung kesekolah?"
Yang ditanya mengangguk. Angga dan Nathan saling menoleh,

"Lo tau dari mana kalo dia baru balik?" Nathan menaikkan alisnya, membuatnya semakin terlihat tampan.

"Noh bajunya." Adam menunjuk  dengan dagunya.

Mereka semua memang masih memakai seragam sekolah tapi hanya gadis itu yang tidak memakai simbol atau sebagainya-ralat- dia memang tidak pernah memakai atribut sekolah tapi tampilan seragam yang memang masih baru itu membulatkan mata mereka.

"Ya ampun Gusti! Gue aja belom pernah ganti seragam dari kelas satu. Nah elo uda seratus kali lebih." Angga berucap heboh membuat Deandra terkekeh melihatnya.

"Kalo gue jadi lo mending langsung tidur di rumah daripada sekolah."

"Lo kan emang gak pernah niat sekolah." kata Chika sarkas, Adam mendelik kesal.

"Ra, payung yang tadi lo copet dari adek kelas mana?"

Yuna menelusuri apartemen yang sudah biasa mereka kunjungi ini, mencari cari payung yang dipinjam atau tepatnya dirampas paksa oleh temannya itu. Tapi dia tidak melihat wujud si payung hitam.

"Gue pinjemin." ujar gadis yang selalu di panggil Ra itu dengan santai.

"Kok lo pinjemin sih?!" Yuna berteriak membuat empat orang lainnya melihati mereka berdua.

"Lo pinjemin sama siapa?" sambungnya lagi kini lebih tenang.
Chika, Adam, Angga dan Nathan yang tidak tau mengenai pembahasan ini hanya diam memperhatikan dua orang itu.

"Kenapa emang?" bukannya menjawab, Ia alik bertanya karena heran melihat Yuna yang sangat panik.

"Itu payung bu Mega!"

"APA?!" empat orang tadi serempak berteriak.

"Wah kacau lo berdua ngilangin payung si Valak!" Nathan yang seakan tau bagaimana kepribadian bu Mega bergidik ngeri membayangkan kejadian nantinya.

Bu Mega yang mereka bahas itu adalah guru Biologi. Dulu pernah mengajar di kelas mereka sewaktu kelas sepuluh. Dari TK-SMA Nathan sudah sangat mengenal bu Mega karena dia merupakan siswa abadi Yayasan Dirgantara. Setiap hari mau pergi ke sekolah guru itu akan memakai payung begitu juga saat pulang. Sedangkan saat mengajar dia akan membawa bawa payungnya sebagai senjata untuk mengatasi murid murid nakal. Pastinya payung itu sangat berarti bagi bu Mega bahkan Nathan bilang kalau itu adalah benda Keramat.

Gadis itu melihat teman temannya memasang wajah gusar menjadi prihatin.
Apalagi wajah Adam yang sangat memeable kalo lagi melas.

Sebenarnya Ia bisa saja mengganti payung hitam itu dengan payung yang sama dan jumlah yang banyak. Tapi dia sangat mengerti tentang kebersamaan. Payung itu pasti sudah lama bersama bu Mega seperti yang di katakan Nathan tadi.
Ia jadi berpikir keras untuk mengatasi masalah yang menurutnya sepele ini.

"Lo semua tenang aja, gue jamin besok payungnya bakal balik."

sontak semua mata menatapnya dengan serius, "Emangnya lo pinjemin sama siapa?"

"Gue gak tau siapa namanya."

"Mukanya?" tanya Chika,

"Samar samar."

Chika mendesah lemas, "Astaghfirullah.."

Yuna menggeram. Mereka tau kalau itu gadis kadang pelupa jadi gimana caranya nemuin payung itu kalau yang minjemin aja lupa siapa orang yang dipinjaminya.

Sebenarnya mereka bisa saja angkat tangan dengan mudah soal payung itu karena posisi orang tua mereka disekolah. Melawan guru, cabut, kejar kejaran dengan guru BK dan BP, membuat guru guru naik tensi sudah mereka alami. Tapi orang tua mereka bukanlah orang tua yang hanya memiliki uang tapi tidak punya otak.

Bukan, masing masing orang tua mereka menyekolahkan anaknya di sana punya tujuan. Sekali, dua hingga tiga kali mereka maklumi, tapi jika terlalu sering para orang tua itu akan menyetujui bila pihak sekolah menghukum anak anak mereka.

Istilahnya penyetaraan. Agar siswa dan siswi standart tidak terlalu iri dengan para Sultan di sekolah mereka. Maka dari itu perarturan yang ada di sekolah tetap berlaku untuk semuanya kecuali,

Kau akan tau nanti.


"Lo ngapain sih daritadi fokus amat sama hp?" Chika mendekati gadis itu dan setelah melihat apa yang dilakukan cewek itu Chika kembali bergabung dengan Yuna dan Trio Cogan yang teriak teriak menonton The Nun.

Pemilik mata elang itu meminum Likeur dari gelasnya sambil memandangi anak anak seusianya yang sedang menonton dari belakang.

Telfonnya berbunyi, ada panggilan.

Mario's Calling.

Ia mengangkat namun enggan menjawab. Seolah mengintruksi orang itu bersuara lebih dulu.

"Deandra."

"Apa?" tanyanya tanpa niat.

"Ada kabar buruk,lo ...."

.
.
.
.

----

Kabar itu memang buruk.
Tapi Deandra segera bersikap tidak akan terjadi apa apa.
Mata tajamnya menatap punggung Yuna dari duduknya.













.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.












Hai😥😥😥

DEANDRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang