Night

22 14 5
                                    

"Saat pagi,siang,sore,malam, saat hujan atau cerah aku masih memikirkannya. Dia tidak pernah hilang dari pikiranku."

19:22

Sang gadis memasuki rumahnya dengan baju sekolah yang basah, tanpa salam apapun seakan tidak melihat seorang pria dewasa yang tidak lain adalah Ayahnya yang sedang menyeruput segelas kopi.

Hambar.

Keduanya tidak ada yang bersuara, memperjelas bahwa hubungan mereka memang tidak baik.

Semua mengambil peran masing-masing, Ia-atau kita perjelas saja- Deandra melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya di lantai dua.

Pria yang sudah berkepala empat itu sedikit mengendorkan dasi di kemeja kerjanya yang bahkan belum sempat ia ganti. Menatap foto keluarga di meja nakas. Ada dirinya dan seorang wanita serta anak perempuan yang masih berusia sekitar 8 tahun tersenyum bahagia.
Siapapun yang melihatnya akan menaruh iri pada mereka. Indra tersenyum pahit.

.
.

Deandra menatap ke arah luar dari jendela kamarnya. Praperkiraan cuaca itu benar, hujan masih menguyur kota Jakarta.

Dia benci sekali hujan. Membuatnya tidak bisa keluar rumah dan Deandra tidak tau kenapa hujan membuat dia merasakan sakit entah bagaimana mau mengatakannya. Setiap kali hujan Deandra merasa di hantui.

Kamar yang di dominasi putih menyeluruh itu tidak terlalu dipenuhi dengan barang-barang anak perempuan kebanyakan, hanya ada beberapa foto keluarga dan kaca besar serta lemari baju miliknya.

Si penyuka warna putih itu masih betah melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan sana. Disana sangat ramai tidak seperti di sini. Hanya ada dirinya seorang diri, itu tidak masalah selagi ia menyukai kesunyian.

Tetapi dia tidak suka kesepian.

Kesunyian dan kesepian bukan hal yang sama. Sekarang hatinya sedang merasa kesepian. Berharap ada orang lain yang menemaninya untuk saat ini.
Sangat bodoh jika ia berharap orang lain itu adalah Ibunya.
Tapi sekarang ia sedang bodoh.

Ting~

Entah notifikasi apa saja yang bertengger di smartphone miliknya tapi ia menyimpulkan kalau itu adalah tumpukan pesan yang sama sekali tidak penting. Mungkin wajar saja kalau ia malas memakai telepon genggam itu karena ribuan pesan yang tiap harinya menumpuk dan justru mengganggu dirinya.

Deandra mulai melihat siapa-siapa saja yang mengechat dia. Seperti biasa,
20% grup kelas, 10% temannya, dan sisanya adalah kumpulan orang yang tidak dikenalnya. Atau kita sebut saja para fansnya?

Pemilik mata dalam itu membuka satu persatu pesan yang sebagian sudah kadaluarsa.

.
.
.
.
.
.
.
.
-----

19:45

Keano sudah sampai di rumah pukul setengah lima tadi. Mamanya sendiri sudah khawatir duluan takut anak laki-lakinya itu diculik. Sekarang kan musim penculikan anak apalagi yang ganteng, begitu pikirnya tadi.

"Mah bikinin susu dong..." seorang laki-laki lain yang asyik menonton televisi berbalik badan melihat Keano yang sedang turun dari tangga.

"Bikin sendiri ngapa, udah gede lu." sungut laki-laki itu, Kenan.

Keano memasang wajah tak suka,

"Apa sih bang, Keano kan mintanya ke Mama kok Abang yang protes."

Keano kembali mencari Mamanya yang tidak kelihatan dari tadi.

"Inget umur deh, masih minum susu kalengan. Minum yang langsung se-"

DEANDRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang