Part 6

6.1K 321 0
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

~♥~~♥~~♥~

Malam itu, Zahra tengah sibuk mencari buku novelnya di rak meja belajarnya.  Namun saat dicarinya, ia tak kunjung menemukan buku tersebut.

"Aduh, ini dimana sih buku aku? Perasaan aku taruh disini deh, tapi kok nggak ada."

"Cari apa dek?" tanya Abangnya saat melihat Zahra mencari-cari sesuatu.

Entah muncul darimana Abangnya itu, hingga pertanyaan dari Abangnya membuat terkejut bagi Zahra, tapi Zahra abaikan itu, dia harus mencari novelnya yang hilang entah kemana.

"Cari novel Bang. Abang tau nggak novel Zahra dimana?" tanya Zahra, tangannya masih sibuk memilah buku yang ada di rak buku miliknya.

"Judulnya apa, Dek?"

"Yang itu lho bang, Cinta Suci Zahrana."

"Ohh itu, bukunya Abang pinjam."

"Kok nggak bilang sama Zahra sih, Bang?"

"Iya, soalnya waktu itu kamu nggak ada di rumah, Abang juga lagi pengen baca buku."

"Ih! Abang kan harus nanya dulu sama aku, ingat cerita ini nggak?" protesnya dengan nada kesal.

"Apa?"

Zahra berjalan menuju kasurnya dan duduk disana lalu diikuti oleh Abangnya. Mereka berdua duduk di sisi ranjang. Reza hanya diam sembari menunggu apa yang akan dikatakan oleh Zahra

"Pada saat itu Tsabit bin Ibrahim melewati sebuah jalan setapak di samping sebuah kebun, tiba-tiba jatuh sebuah apel. Tsabit mengambil dan memakannya separuh. Dia teringat bahwa apel itu bukan haknya. Dia masuk ke kebun dan bertanya pada tukang kebun, 'Saya telah memakan separuh apel ini. Mohon anda mengikhlaskan apel yang telah saya makan dan ambillah sisanya.'"

Tukang kebun itu berkata, 'Saya tidak memiliki hak untuk mengikhlaskan apel itu. Kebun itu bukan milik saya.' Tsabit bertanya, 'Siapa pemilik kebun ini?'. Tukang kebun menjawab, 'Tempat tinggal pemilik kebun ini amat jauh. Untuk mencapainya harus menghabiskan waktu sehari-semalam.

Tsabit berkata, 'Saya tetap akan pergi kesana. Meskipun jalan yang harus saya tempuh amatlah jauh. Tubuh ini akan tumbuh dan menjadi bagian dari siksa neraka, jika yang saya makan tidak halal.' Tsabit pergi berjalan menuju tempat tinggal pemilik kebun. Dia pergi dengan tujuan untuk meminta keridhaan atas separuh apel yang telah dimakannya. Setelah sehari semalam, Tsabit sampai di rumah pemilik kebun itu. Dia mengetuk pintu. Pintu itu di buka oleh pemilik kebun. Setelah memperkenalkan diri, Tsabit berkata, 'Saya mohon keridhaan tuan atas apel yang telah saya makan. Dan ini sisanya.'"

Zahra berhenti sejenak sembari melihat ke arah Reza yang tengah serius mendengarkan ceritanya.

"Pemilik kebun itu memandang dengan penuh kekaguman dan berkata, 'Saya akan mengikhlaskan apel itu, namun dengan 1 syarat.' Tsabit bertanya, 'Apa syaratnya ?' Pemilik kebun menjawab, 'Engkau harus menikahi putri saya.' Tsabit menjawab dengan mantap, 'Saya terima nikahnya.' Pemilik kebun itu berkata lagi, 'Saya akan menceritakan kepadamu keadaan putri saya itu.' Tsabit menjawab. 'Baik' Pemilik kebun menjawab, 'Dia buta, tuli, bisu dan cacat tidak bisa berjalan.' Tsabit kembali menjawab dengan mantap, 'Baik ,saya tetap menerima nikahnya. Saya akan serahkan semuanya pada Allah.'

Setelah akad nikah selesai, Tsabit menemui istrinya. Dia masuk ke dalam kamar dan mengucapkan salam. Padahal dia tahu bahwa istrinya bisu, sehingga tidak mungkin dia akan menjawab salamnya. Ternyata, tidak seperti yang dibayangkannya. Dia terkejut, karena istrinya tersebut menjawab salam yang diucapkannya. Tsabit melihat padanya. Kemudian ia bergerak menghampiri Tsabit dengan kedua kakinya. Dia melihat pada Tsabit. Ternyata, istrinya adalah seorang gadis yang amat cantik, baik dan normal. Tsabit bertanya kepadanya, 'Ayahmu telah memberitahuku bahwa engkau tuli, bisu, cacat dan buta. Namun, saya tidak melihat itu pada dirimu.'

Istrinya menjawab, 'Ayah saya memberitahumu bahwa saya buta. Saya memang buta, namun saya buta dari hal-hal yang haram. Karena mata saya tidak melihat kepada hal-hal yang diharamkan Allah. Saya memang tuli, tapi tuli dari suara-suara yang tidak diridhai oleh Allah. Saya memang bisu, karena hanya menggunakan lidah saya untuk berzikir saja. Saya dikatakan cacat, karena kaki saya hanya digunakan untuk melangkah ke tempat yang tidak menimbulkan kemarahan Allah.'

"Gitu Bang ceritanya, jadi kita harus minta izin dulu sama yang punya, soalnya kalo kita nggak minta izin, sama juga Allah nggak ridho dengan apa yang kita ambil itu, jadi bisa disebabkan kita terhalang untuk masuk surga." terang Zahra.

Reza tersenyum penuh arti, "Iya Adekku sayang, maafin Abang ya. Abang janji deh nggak bakal ngulangin lagi," ungkapnya sembari tersenyum lembut lalu membelai kepala sang adik yang tertutup oleh khimar.

"Iya Zahra maafin, ya udah mana novelnya? Besok aku mau kasih pinjam ke Zabrina," pintanya dengan menyodorkan tangan tanda novelnya diminta.

"Di kamar Abang, tepatnya di nakas Abang," jawab Reza santai.

"Ya udah ambil sana Bang, ayo cepaatt!" mohon Zahra sambil merengek, seperti anak kecil yang minta dibeliin es krim.

"Nggak ah, Abang males ke bawah, udah kamu aja, kan Abang pengennya yang ngambil kamu," sahut Reza dengan senyuman manisnya.

"Huhhh, terserah!" jawab Zahra sembari berlalu dari hadapan Reza, dia membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga untuk menuju ke kamar Reza.

"Males banget deh, kenapa coba harus aku? Seharusnya kan Bang Reza yang ambil, udah pinjam buku nggak bilang-bilang masih disuruh ngambil, ugh,"

"Astaghfirullah, sabar Zahra sabar, orang sabar itu kan disayang sama Allah." monolognya sembari tersenyum menasihati dirinya sendiri.

Matanya melirik sekitar, lalu tepat di sebuah nakas yang di atasnya terdapat bukunya, ia pun tersenyum senang, "Oh itu dia bukunya,"

Lantas Zahra mengambil bukunya lalu tak sengaja dia melirik sekilas secarik kertas sebelum pergi dari kamar Reza.

"Apaan tuh? Kok kayak undangan gitu ya? Mending aku tanya aja sama Abang." Zahra mengambil kertas tersebut lalu keluar dari kamar Reza dan menuju ke tempat Reza berada.

"Abang ini undangan dari siapa?"

Reza yang sudah berada di depan TV, hanya melirik sekilas kertas yang dibawa oleh Zahra.

"Oh itu dari temen Abang,"

"Kak Zain ya, Bang?"

"Udah tau masih nanya," jawab Reza yang masih menonton TV.

"Biarin." Zahra memanyunkan bibirnya lalu duduk di sebelah Reza dan merebut remot TV yang dipegang oleh Reza.

"Eh eh main rebut aja, sini nggak!" pinta Reza sembari melototkan matanya. "atau kalo nggak, Abang gelitikin nih," sambungnya dengan senyum jahilnya.

Fatimah yang melihat kejadian itu saat keluar dari kamarnya langsung menasihati mereka.

"Eh sudah-sudah, udah malam ini jangan pada ribut." peringat Fatimah lembut mengingatkan mereka.

"Ini lho Ma, Zahra." adu Reza sambil menunjuk Zahra, layaknya anak kecil yang sedang mengadukan sesuatu ke ibunya, sedangkan yang  ditunjuk seperti orang yang merasa tak bersalah.

"Udah-udah, kamu lagi Za, udah gede masih aja kayak anak kecil, Zain aja udah mau nikah, kamu kapan, Za?" tanya Fatimah sambil tersenyum menggoda.

"Iya tuh, nggak bosan apa statusnya jomblo mulu, padahal udah hampir kepala tiga juga," sahut Zahra di sela tawanya.

"Reza bakalan nikah kalo udah ada calon Ma." setelah mengatakan itu Reza pergi menuju kamarnya.

Sedangkan Zahra dan Mamanya tertawa melihat tingkah Reza, bagaimana tidak? Setiap membahas soal pernikahan Reza selalu berusaha menghindar dan melarikan diri.

🍁🍁🍁

Assalamualaikum teman-teman. Kuy di vote dulu. Sayang kalian. 🌈

Jazakumullahu khairan katsiran.

Kebahagiaan untuk Zahra [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang