Eureka

47 17 4
                                    

Eureka!

Berlari ku ke hutan, salju Desember turun dengan lebat. Hutan-hutan masih berdiri tegap dengan hebat. Menopang angkuh memandang langit. Menantang maut dengan serbuan salju. Tak peduli tubuhnya terbujur kaku karena es dan berminyaki embun. Gelap dan sunyi. Suara hembusan nafas angin utara semilir mematikan langkah untuk terus berjalan.

Sendirian.

Aku pergi sendirian mengarungi Samudra Pasifik. Berbekal keberanian, kenestapaan dan kenelangsaan. Hanya satu tujuan, mencari kebahagiaan dan bercinta dengan Tuhan. Dasar hutan bukan lagi tanah, melainkan salju yang tebalnya melebihi jaket tebalku. Aku terus berjalan tertatih entah ingin kemana. Sebab sepanjang perjalanan, belum kutemukan juga mereka.

Hujan salju terjadi lagi. Air mataku kering dan menjadi batu es. Tulang-tulang kakiku sudah tidak dapat menopang badan. Aku terhuyung, limbung dan ingin terjatuh.

Dingin....

Dingin...

Tolong aku...

Aku megap-megap. Bagai debu yang ditiup bebas oleh angin utara. Tak berkawan. Justru dinginlah yang menjadi lawan. Bukan hanya badanku yang kaku, melainkan hatiku juga ikut membeku. Tidak ada yang tahu bahwa aku berjibaku dengan peluh, sendu dan kesedihan yang amat syahdu.

Tidak ada yang tahu bahwa aku memberontak pada keluarga sendiri, pergi menghilang ke ujung benua, mencari kebahagiaan lain yang bukan didapat dari manusia.

Tidak ada yang tahu bahwa di tengah dinginnya hutan, hiruk-pikuknya alam mengundang tangisan peri kecil di lubang pohon besar, semua masih bersembunyi tak ingin menunjukkan. Tangisan yang begitu mencekam diolesi angin-angin utara yang menusuk pori-pori. Menusuk jantung dan hati.

Tidak ada yang tahu bahwa ada seorang gadis belasan tahun tengah meradang terjang dari jalan kehidupan, mencari keadilan dan sebuah kesederhanaan.

Tidak ada yang tahu bahwa seorang gadis belasan tahun meringkuk tajam kesedihan, membekuk erat bola panas ujian, memekikan rasa kekhawatiran, kegetiran, kesedihan, kenestapaan dan seorang bujang untuk pulang.

Dengan melawan gravitasi dan hukum relativasi, terus menerjang, terus melawan dan memberontak, menangis menjadi es, menangis lagi, menjadi es lagi. Begitu terus-menerus sampai mataku penuh dengan balok es.

Hancur!

Hancur sudah!

Kini tiada lagi harapan menjemput impian. Alam tak lagi berkawan. Binatang jalang menjadi musuh yang siap menyerang. Tiada lagi gerangan tawa dan bahagia yang menyelimuti pelupuk air mata.

Hatiku semakin membeku, sesak, meringis, dadaku kembang-kempis, nafasku bersuara tengik, air mataku bukanlah air lagi, mengering sudah.

Semakin gelap hutan belantara tak bernyawa ini. Kutatap perlahan, pandanganku ke atas, tiada rembulan malam yang menawan, tiada gugusan bintang yang memesona alam, tiada awan yang berarak menyampaikan sarat makna, semua menghilang, benar-benar kelam dan suram. Pandanganku tertunduk lesu. Harapan telah hilang. Bukan hanya jaket tebalku yang berlumur salju, melainkan segalanya. Segala organ sampai yang terkecil telah membeku. Saraf-sarafku, pemikiranku, perasaanku, semuanya telah membeku. Tiada lagi air mata, namun tetap kurasakan kegetiran jiwa.

Tetap kurasakan kosongnya nurani, bukan hanya hutan yang belantara, melainkan hatiku juga.

Sendiri...

Sendiri lagi... aku terus memaksa berjalan ke ujung dunia. Sampai aku benar-benar menemukan Tuhan dan kebahagiaan. Biarkan perjalanan panjangku yang membeku ini menjadi saksi bisu atas pelepasan masa laluku yang kelam dan sendu. Biarkan semua kenangan ini pilu di tumpukkan salju. Air mataku mulai menetes dan secepat kilat menjadi butiran es.

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang