Tak Kuat, Maka Menangislah.

9 3 0
                                    

Di suatu penghujung sore, menjelang senja. Suasana ibukota terlihat begitu merekah. Sebagian jalan tertutup langit gelap. Sebagian gedung dijilat sinar mentari megap. Perpaduan cahaya yang menimbulkan keestetikaan. Awan terlihat murka dan bahagia. Keduanya timbul secara bersamaan. Kendati demikian, kendaraan tetap antusias untuk menjilati jalanan. Menggagahinya dan menumpahkannya dengan bensin-bensin.

Melaju ke Utara Jakarta, berhentilah pada gundukan tanah basah akibat hujan. Di atasnya tertancap pohon besar dengan akar-akar yang mencengkram kuat tubuh tanah. Kutemui dirimu di pinggiran danau. Menatap sendu ke arah angin yang mulai meracau. Mengalihkan pandangan pada refleksi burung-burung yang beterbangan di atas air danau.

Kemayu sinar mentari muncul dari balik wajahmu. Menimbulkan siluet bentuk wajahmu yang nyaris sempurna. Matamu masih seperti biasa. Menatap sendu pemandangan di depan.

Sinyal alam yang begitu kuat mampu berinteraksi dengan hati yang dimiliki manusia sepertimu. Berbagai reaksi alam semakin membawamu dalam peraduan bahagia yang memang fana. Merombak seluruh perasaan yang berlendir untuk tetap meracau dan mengalir. Tubuhmu sedikit limbung.

Matamu kembali menyelam pada bayang-bayang gedung, pepohonan, dan arakan awan yang terefleksi pada air yang jernih. Dari samping, sebelahmu, dapat terlihat kau seorang pemikir, seorang pengamat, dan sekarang, kau seorang penyair dalam hati nurani sendiri. Mungkin dunia tidak mendengar senandung merdu dengan bahasa syahdu yang menggelegar dalam kandung badanmu. Sebab bahasa yang kau keluarkan adalah bahasa hati.

Dahimu mengkerut menandakan kau sedang berpikir lebih dalam terhadap apa yang sedang kau saksikan hari ini. Apa yang telah terjadi sepanjang tiga hari ini. Sayup-sayup suaramu berbisik lembut, namun bukan bahasa manusia.

Bagimu, ketenangan semacam ini dapat mengumpulkan antologi rasa ke dalam pusaran danau yang tersapu angin sehingga menimbulkan guratan manja mengalir menjauh. Rasa ketersiksaanmu, rasa kekurang-bersyukurnya dirimu, rasa terima kasihmu, rasa sadarmu. Dan segalanya berkelindan menciptakan gunungan konstelasi halimun nestapa.

Perlahan, satu-dua bulir air melesat perlahan menggandrungi pipimu. Bibirmu tidak bergetar, melainkan tenang dengan air wajah yang begitu tenang. Namun mengapa air matamu memutuskan untuk keluar?

Oh, aku dengar. Iya.

Sore semakin menutup diri dan menyembunyikan mentari. Begitu juga dengan dirimu yang semakin sulit untuk menyembunyikan kesedihan mendalam. Aku paham dan mendengarkan. Aku dapat memahami apa yang nampak dari gestur tubuhmu.

Oh, aku dengar lagi. Iya.

Ini adalah titik dimana kebahagiaanmu rapuh dan kesenduanmu utuh. Kau sulit mengolah dua rasa bertolakbelakang yang terus memaksamu menjadi wanita sok kuat.  Titik dimana kau mencapai klimaks dilema.

Kau begitu kuat. Mencoba berdamai dengan diri sendiri, bersenandika, menenangkan air matamu, memeluk tubuhmu sendiri, berkata lembut pada dirimu sendiri, mengecup kulit yang nampak untuk menciptakan ketenangan dan kestabilan emosi, kau sedang mengolah rasa sendiri. Aku tahu dan dapat memahamimu.

Di satu sisi, kau ingin terlihat kuat dengan menampilkan guratan wajah yang konsisten untuk terlihat bahagia, tersenyum dan lekukan wajah yang teduh. Namun sisi lain, kau adalah kerapuhan semesta pada diri manusia, menahan segaka tumbukan kenestapaan yang menghasilkan tangisan, yang kadang ingin berkata "INILAH AKU, DUHAI SEMESTA, WANITA YANG TUMBUH DARI BIBIR YANG HANCUR. INILAH AKU, DUHAI SEMESTA, WANITA YANG BEGITU LEMAH DALAM MENAHAN AIR MATA."

Aku paham dan aku mengerti. Tangismu diam. Tak kuat, menangislah. Bukankah itu hobimu, duhai wanitaku?

Kini, mentari telah berpamit pulang. Awan gelap menggantikan. Halimun nelangsa menyesakkan setiap sudut ruangan dalam sanubari yang tersisih. Kau bangkit. Mengambil barangmu dan pergi meninggalkan kenangan yang kau tumpahkan di sini.


- ketinggian 24 HM.

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang