Pengasingan Diri.

15 2 0
                                        

Kau terluka. Dan itu sudah pasti. Dalam sepi, kamu diliputi kegamangan. Bercinta dengan nestapa. Bercumbu dengan nelangsa. Tertatih. Perih. Celih. Cerabih. Menyembelih rasa yang telah bunuh diri.

Pesan ini akan sampai kepadanya, kalian, mereka, dia. Entah dengan cara apa, karena yang kau tahu kini adalah bahasa hati dan bercumbu mesra pada antariksa.

Waktu yang membunuhmu atau kau yang butuh waktu? Turbulensi bukan hanya terjadi pada angin. Melainkan pada pengakumulasian rasa luka di masa lalu yang berputar-putar mengitari masa kini untuk kemudian menyiksa hingga kini.

Kau tertidur lelap. Meringkuk. Kamar gelap. Dingin menusuk. Cahaya tertelan derasnya angin malam yang berpendar menjadi bintang-bintang. Menjelma langit kerinduan dalam peraduan berbayang dalam jurang karikatur cinta. Kau semakin meringkuk sehingga lutut menciumi hangat dagumu. Air matamu terus mengalir deras, merembas ke alas tidur. Banjir. Kau terus berteriak memohon pertolongan. Namun apadaya, dunia takkan mengertimu.

Manusia tidak akan mengertimu sekalipun kau sendiri manusia. Tidak ada di antara mereka yang mengerti bahasa dan pengodeanmu. Yang mereka tahu, kau telah hancur lebur sekalipun fisikmu masih tersusun teratur.

Bagi mereka, kau tak lebih dari sepotong kayu yang berlubang. Kayu yang terpisah dari sekawanannya. Mencari tanah untuk disenggama. Menancap di sana dan membentuk tunas baru. Dirimu terbelah menjadi dua. Cermin retak. Memasuki pori-porimu, darah keluar. Kau menghisapnya lebih dalam sebab air bening tak mampu menyurutkan dahaga.

Kau berada di titik didih sendiri. Titik paling rapuh, paling jenuh, paling tidak utuh. Dirimu benar-benar terjatuh. Luka yang berkelindan, membuat kesesakan menjadi penyiksaan begitu mendalam.

Tangisan bukan lagi air, melainkan darah. Seprei putih berlumur darah. Kau terus meringkuk, memeluk serpihan kaca, kau kunyah, pakaianmu lunyai, dan keimananmu mulai sondai.

"Berhentilah, aku bukan aku."

Suaranya, si dia yang keluar dari tubuhmu.

"Berhentilah, kamu bukan aku."

Suaranya, si dia kedua yang keluar dari tubuhmu.

"Ayo pergi, kau butuh pengasingan diri. Aku ingin membantu."

Suaranya, si dia yang keluar dari si dia yang kedua.

Malam ini, tertatih-tatih, berdiri goyah, merunduk, memasukkan segala pakaian ke dalam koper. Memesan tiket pesawat dengan cepat.

Tidak butuh waktu yang lama untuk bercerita proses kau tiba di tempat asing, tempat penuh misteri, tempat yang jauh dari keramaian. Tempat yang dikelilingi air, samudra, belantara hutan, jauh dari manusia. Sebuah rumah tua yang megah nan exotis. Berdiam diri, menyendiri di sana.

*

Satu hari berlalu, dua hari, tiga hari, lima hari, sembilan hari, tiga belas hari, lima belas hari, setahun telah berlalu. Kau mengasing di pulau asing. Kau jauh dari peluh-peluh yang terjatuh. Berdialog dengan Tuhan setiap malam. Bersujud mencium kain tauhid. Menyucikan diri. Berendam di air panas, biarkan dosa-dosa terhisap kalap.

Dua puluh tahun tiba, kau masih melembutkan hati, menghangatkannya, mencoba melunakkannya. Tiada hari tanpa dialog sendiri.

Kawanmu di sana adalah cermin, teman ngobrolmu adalah bayanganmu dan Tuhan. Tempat bercakapmu adalah di lorong cokelat tua yang terkesan mistis, bercakap dengan langit yang merekah senja. Mendengarkan lautan bernyanyi, hutan berdialog, alam berbahasa namun tak dapat kau makna.

Kau masih belum menemui jati diri, kau berlari sekencang angin, secepat kilat menuju balkon luar di samping lautan lepas, menaiki pagar dan membentangkan kedua tangan. Tubuhmu siap terjatuh ke tempat yang beralaskan air dingin. Matamu terpejam. Perlahan, kau melepaskan pegangan.

"Aku... ingin menjadi nyata."

Cipratan air terdengar seperti ledakan bom bagi makhluk-makhluk kecil. Kau terambang, tenggelam lebih dalam di laut yang gelap. Matamu terpejam. Merasakan kematian yang didambakan.

Laut menjadi sosok yang menyeramkan. Di kedalaman, potongan cerita-cerita hidup terdahulu menyesaki laut, menjelma menjadi air. Dadamu seperti tertusuk belati, atau benda tumpul yang dipaksa menikam.

Kau teriak. Namun hanya mengeluarkan gelembung-gelembung. Tidak ada manusia di sana, tak ada yang menolongmu. Matamu terbuka. Paru-parumu penuh air, kau kesakitan, kau semakin dalam untuk tenggelam.

"Inikah mati?"

Suara itu keluar. Terdengar. Si dia yang nomor dua.

"Belum, dia masih hidup."

Sambut si dia, yang pertama.

Semakin tenggelam

Tenggelam

Tenggelam

Tenggelam.

Semakin dingin...

Dingin...

Dingin...

Tak ada cahaya mentari. Gelap gulita.

Kau telah berjalan menuju Tuhan, menuju pangkuan. Kini dirimu tidak asing lagi, Tuhan tidak memandangmu sebagai gadis sakit jiwa.

Tenanglah di sana.

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang