Pengamat [1] - series

19 3 0
                                        

HAllO! sebelumnya di sini saya mau memberitahu, sooon cerita dari Pengamat [1] atau bagian satu ini akan memiliki kisah yang berkelanjutan. kira-kira ada 5 bab dengan alur cerita yang masih berlanjut di antara babnya. intinya itu, ganti judul ini isi ceritanya tetap sama. Ibarat ada antologi cerpen di dalam antologi cerpen lagi. Stay tune dan dukung terus ya teman! Terima kasih


*



Aku duduk di ujung dan paling pojok. Bertahun-tahun telah menjadi pengamatmu. Ada buku khusus yang kubuat untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengkaji dirimu. Setiap pagi, aku selalu datang tepat waktu agar dapat melihatmu lebih awal. Seperti biasa, kau datang dengan wajah selalu ceria. Menebar senyum pada siapa saja. Dan pastinya, kau sedang memanipulasi hari-harimu.

Aku belum bisa mendapatkan kesimpulan apa yang terjadi pada dirimu. Bertahun-tahun sudah kubilang bahwa aku hanya menjadi pengamat. Aku sedang meneliti dirimu. Aku mengetahui apa yang terjadi untuk sementara. Aku bisa merasakan apa yang kau inginkan di kemudian hari. Aku adalah pengamatmu.

Kau terkenal dengan gadis terbahagia senatero sekolah. Mustahil jika manusia-manusia di sekolah melihat raut wajah murung, sedih nan murka pada guratan wajah manismu. Yang kau hadirkan, adalah senyuman selalu. Senyuman palsu, menurutku.

Mungkin kau bisa membohongi orang lain dengan kepiawaianmu memainkan ekspresi dan menyembunyikan nelangsa yang terjadi. Tapi di mataku, kau gadis apa adanya di sisi lain. Jika orang lain kebanyakan melihatmu dari luar, justru aku mempunyai pandanganmu dari dalam. Aku memaki kacamata berdimensi lain yang dapat menembus tabir rahasia kelammu. Karena, aku tegaskan sekali lagi. Aku. Adalah. Pengamatmu.

Gelimang prestasi yang melekat pada sekujur tubuhmu dan namamu. Mengharum seantero sekolah, bahkan se-Nusantara. Barisan prestasi yang kau ukir tak heran kau jadi sanjungan kawan-kawan. Aku ingin mengupasmu lebih liar. Mengamatmu lebih tajam dan tenggelam dalam-dalam untuk mencuil sebongkah emas yang kau kubur terlalu dalam. Emas yang menurutmu adalah aib. Emas yang kau takkan pancarkan cahaya dan aromanya. Sebab kau sendiri yang melupakan kemana emas itu pergi. Meskipun demikian, akulah dalang, dan aku yang akan membawamu pulang.

*

Sudah kubilang, aku adalah pengamat. Aku dapat menjangkaumu dari pandangan yang tak tertuju. Aku bisa menemukanmu dengan radar yang kuciptakan. Sekarang, kau bersimpuh peluh di ruang yang sering kau datangi. Ruang kosong, pengap, dan mati. Hanya tersisa perabotan rongsok di sana. Ruang yang tidak pernah diketahui siapapun dan tidak pernah terjamah oleh siapapun selama puluhan tahun. Seolah ruangan itu kau akui menjadi milik pribadi. Kau segel. Tidak boleh ada yang memasuki. Namun aku tahu. Sebab aku adalah pengamat.

Di sinilah semua orang menutup mulut mereka, membungkam, menutup hati mereka, menutup rapat telinga mereka, dan mengunci rapat rasa kepekaan mereka. Mana mereka tahu ada seorang gadis yang sedang meradang menerjang kehidupannya sendiri. Meratapi nasib sendiri yang dirundung malang. Menangis tanpa perlu didengar. Menyesali kehidupan yang kata orang terlalu bergelimang.

Mereka tidak pernah tahu si ratu yang terkenal dengan wajah cerita mempunyai seribu satu kisah nelangsa yang berselimut nestapa. Mereka tidak tahu akan dirim yang terlihat bahagia sepanjang hari, mempunyai sisi kelam yang sangat menyentuh hati. Mereka tidak peduli akan hal itu. Mereka menutup mulut dan mengunci pintu hati.

Yang kuamati sejauh ini, mereka adalah penerima kelebihanmu dan penolak kekuranganmu. Tidak akan mereka dengarkan kisah lara dan pilumu. Yang mereka inginkan adalah segala kelebihanmu tanpa ada candala sedikitpun. Mereka menuntutmu untuk seperti nirmala. Apakah mereka lupa bahwa kau juga manusia?

Kau mulai menangis tanpa suara, itu sangat menyakitkan. Sekali. Menangis tanpa suara lebih menyakitkan daripada menangis dengan suara. Dan kau memilih lebih menyakiti diri sendiri. Duri-duri kekejaman mulai menusuki badanmu perlahan. Kau memberontak dengan amat. Kau tendang dinding, kau jambak rambut indahmu, kau pukuli diri sendiri. Kau teriak, namun suaramu tercekik udara pengap. Debu kasar merasuki sukma mu melalui hirupan mulut. Kau terbatuk. Kepalamu bersandar di dinding yang penuh lumut. Tidak ada penerangan di ruang itu. Kau bebas menjadi dirimu sendiri. Aku tahu apa yang terjadi. Bukan sekali dua kali aku menyaksikan seperti ini.

Kelelahan menghantuimu, semua rasa nelangsa yang apapun itu namanya bersinggah di tubuhmu. Mereka tidak punya nurani sehingga terus membunuhmu secara perlahan. Bukan membunuh fisikmu, tetapi sesuatu yang memengaruhi fisik. Segumpal daging yang berada di dalam tubuh. Mereka menyerang itu. Kau kesakitan dengan amat. Aku tidak tega melihatnya. Bodoh jika aku memilih langsung keluar dari tempat persembunyianku untuk memeluk dan merangkul dirimu. Membawamu ke dalam dekapan hangatku. Cerita denganku, aku akan mendengarkan. Tapi tidak, aku belum menjadi halalmu.

Tubuhmu mulai tergeletak di lantai. Air matamu masih betah untuk keluar. Lantai banjir oleh air matamu. Darah bercucuran dari balik badanmu. Kau benar-benar berada di ujung tanduk. Kacau. Inca-binca. Kau masih meratapi nasib yang menerjang dirimu. Mengelus pelan lantai berlumut.

Kerapuhanmu sudah melebihi makna dan esensi dari kata rapuh sendiri. Kesedihanmu sudah melebihi makna dan praktek langsung dari kata sedih sendiri. Menurutku, kau adalah sejuta paradoks itu.

Yang dimana bagi mereka kau gadis terunik, saking uniknya bagiku sulit membedakanmu dari gadis unik atau aneh. Bagi mereka, kau gadis terbaik yang pernah ada. Tapi aku tahu, bagimu sendiri, kau adalah gadis terburuk yang pernah ada. Semua itu seimbang. Kau adalah terbaik dan juga terburuk. Kau menciptakan paradoks bagi kehidupanmu sendiri. Membuatmu limbung tak tau arah.

Semua selebrasi yang kau lakukan ketika mencapai titik kejenuhan yang luar biasa telah berhenti. Tangismu, gerakanmu, dan tubuhmu terbujur kaku menciumi lantai berlumut. Matamu tertutup. Kau kelelahan, tertidur di sana. Di sini bisa kuambil kesimpulan, caramu mengatasi sedih yang amat adalah tidur. Tidur untuk melupakan sekaligus kau kelelahan. Tenanglah, aku menjagamu di sini. Akupun ikut tertidur.

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang