Dermaga dan Teropong Cerita Kita

24 3 0
                                    




Aku belum tahu apa-apa tentang cinta, yang kutahu hanyalah rasa yang sulit didefinisikan untuk anak kecil sepertiku. Tentang cinta, aku selalu mendambakan cinta yang manis dan hangat, contohnya dari orang tua.

Hari ini aku menjejakkan kaki ke dermaga dekat rumahku. Barangkali menghabiskan senjaku bersama deburan ombak yang senantiasa menghitam. Menghabiskan senjaku bersama heningnya alam dan kicauan burung di sore hari. Menghabiskan senjaku bersama buku sketsa yang bertahun-tahun telah menjadi temanku. Buku sketsa yang isinya gambar abstrakku mengenai laut.

Desauan angin semakin membuat diriku tidak nyata. Sebab jiwaku terevaporasi ke antariksa. Menyaru menjadi sekawaan awan putih yang bergradasi, berkawan dengan bintang untuk menebar keindahan di malam hari nanti. Aku sedang menantinya.

Perlahan kakiku meraih jembatan kayu. Senja sedang memperlihatkan keanggunannya. Aku berdiri bedegap, menatap mantap mentari yang sopan sekaligus menambah kesan estetik untuk meninggalkan persinggahannya. Pancaran semburat jingga menciptakan siluet badanku yang menghadap ke laut. Angin laut memainkan peran dengan membelai hangat rambutku.

Perlahan-lahan pena yang kugenggam hangat di tangan kanan menciptakan goresan yang menyatu dengan unsur keindahan. Menggeliat hangat di hamparan kertas putih.

"Suka gambar laut?"

Suara itu.

Aku terkejut. Aku menoleh ke kanan-kiri namun tak kudapatkan seorangpun.

"Gambar kamu bagus banget."

Ketika aku menoleh ke kanan, terdapat seorang anak kecil yang juga seumuran denganku. Badannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu tinggi. Aku sama sekali tidak berpikiran kenapa dia ada di sini, muncul tiba-tiba dan di punggungnya membawa tas ransel. Apakah dia masih bersekolah? Hm.. bersekolah? Bagaimana rasanya?

Senja semakin bangga menunjukkan dirinya. Mataku tak henti-hentinya menatap lekat mentari yang berpamit pergi. Mulutku tak henti-hentinya mengucapkan decak kagum.

"Kamu tahu? Bintang redup selalu bertengger di langit yang kelam. Tidak pernah dia berpaling ke tempat lain. Karena memang tempatnya di situ." Ucapku asal.

"Maksudmu?" Tanya bocah kecil lelaki itu dengan lugunya.

"Kamu di sekolah... diajari membaca langit gak sama guru?" Tanyaku.

"Enggak. Guruku mengajari aku membaca buku, bukan langit." Katamu padat.

"Langit pun buku, bahkan melebihi buku. Langit adalah buku yang terbentang luas. Dan mata kita diberikan kebebasan untuk melihatnya dan hati kita jika menyadari diberikan pertanda oleh alam untuk kita membacanya." Kataku sambil menatap teduh mentari yang telah pergi. Menyisakan goresan cahayanya beradu dengan kelam.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu, namun dari kedua matamu terpancar bahasa yang mendalam. Aku memahaminya. Kubawa kembali pena yang jatuh mencium tanah itu menuju genggaman tanganku untuk memulai guratan lagi.

"Aku kagum sama kamu. Kamu mahir sekali menggambar laut, kamu sekolah khusus menggambar ya?" Tanyamu. Aku berhenti menggambar dan menatap lurus ke depan.

"Andai aku berkata iya, rasanya aku telah membohongi diriku sendiri. Aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya bersekolah." Ucapku dengan nada dan juga ekspresi yang datar.

"Jadi, kamu tidak sekolah?" Tanyanya. Aku mengangguk.

"Kamu ngapain ke sini? Kalau kamu ke sini cuma untuk main, kamu salah tempat."

"Enggak, aku ke sini bukan untuk main. Aku ingin berdamai dengan waktu dan diriku sendiri." Balasnya mengubah posisi yang tadinya diri, sekarang duduk di pinggir jembatan kayu. Aku mengikutinya.

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang