Air Mata Arista

5.4K 822 79
                                    

Prang!

Suara pecahan terdengar menggema ke seisi rumah. Gadis yang masih memakai seragam abu-abu itu hanya bisa meringkuk di balik pintu kamarnya.

Teriakan saling beradu dari bibir kedua orangtuanya. Saling mencela, saling menyalahkan, satu sama lainnya tidak pantas disebut suami istri. Keduanya seperti musuh yang sedang berperang.

"Berhenti. Berhenti. Gue mohon berhenti," lirih gadis itu bersuara. Tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah tanpa suara. Dinginnya lantai seakan menjadi teman setianya. Berminggu-minggu ia hanya berdua saja di rumah besar ini dengan asisten rumah tangga. Ia berharap ketika kedua orangtuanya pulang ke rumah, suasana rumah bisa menghangat. Saling berbagi cinta kasih, kebahagiaan, dan canda tawa seperti rumah kebanyakan orang. Namun apa yang ia harapkan berkebalikan seratus delapan puluh derajat.

"Mama yang salah! Seharusnya Mama bisa bagi waktu!" Itu suara Papanya yang sedang berteriak.

"Terus aja nyalahin Mama! Kalau Papa nggak selingkuh sama perempuan itu mungkin semuanya nggak akan seperti ini!" Mamanya balas berteriak.

Istilah rumahku adalah surgaku sepertinya tidak berlaku di sini. Rumah ini berubah seperti neraka jahanam. Setiap Mama dan Papanya bertemu keduanya saling bertengkar. Dan itu membuat Arista muak.

"Sudah berapa kali Papa bilang, kalau Papa nggak selingkuh!"

"Nggak selingkuh? Heh! Mana ada maling ngaku!"

Prang!

Suara pecahan terdengar lagi, kali ini lebih kencang. Agar tidak mendengar suara ribut dari ruang tamu rumahnya, Arista menutup kedua telinganya dengan kencang.

Selanjutnya tidak terdengar lagi teriakan dari kedua orangtuanya. Namun deru mobil saling bersahutan dari arah garasi. Sepertinya malam ini, ia akan sendiri lagi di rumah sebesar ini. Sambil menyalahkan kedua orangtuanya yang egois, yang hanya bisa mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli perasaannya yang hancur melihat mereka bertengkar. Sampai kapan semua ini terjadi? Rasanya Arista tidak kuat berlama-lama menghadapi ini semua.

Arista berjalan gontai ke arah nakas. Ia langsung menyambar benda persegi yang sedang di charge. Setelah itu dia mendial nomor seseorang. Cukup lama panggilannya tidak dijawab, bahkan sesekali panggilannya dialihkan. Arista memutuskan untuk mengirim chat, berharap orang itu masih peduli padanya. Berharap orang itu masih menganggapnya sahabat, setelah pengakuan tentang perasaannya malam itu.

Gue butuh lo sekarang juga. Please ke sini.

Ru.

Arusha!

Gue mohon.

Kalo lo nggak ke sini, mungkin lo nggak akan ngeliat gue lagi selamanya.

Gue capek.

Gue lelah dengan semua ini.

****
Aru baru saja memasuki rumah saat azan Isya berkumandang satu jam yang lalu. Ia baru pulang dari rumah Sindy untuk menyusun laporan pertanggung jawaban di akhir masa baktinya yang akan dilaksanakan satu minggu lagi. Rasa lelah menyapanya, seluruh tubuhnya terasa remuk terutama otak yang seakan mengebul.

Panggilan dari Bunda Nia yang menyuruh untuk makan malam tak ia hiraukan. Bukan bermaksud tidak acuh, namun ia ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Aru berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya. Bayangan wajah Shafira menari-nari, memenuhi pelupuk matanya. Ia langsung mengusap wajah untuk menghilangkan bayangan gadis itu.

Aru meraih benda persegi di dalam tasnya. Kemudian membuka aplikasi chat, dan mengetik sesuatu di sana. Hari ini ketika di sekolah, ia tidak bertemu dengan Shafira. Ada sesuatu yang hilang dari dalam hatinya.

ARUSHAFIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang