[cerpen] Dialog dari Daun yang Gugur

2.3K 104 9
                                    

[daun]
Dialog dari Daun yang Gugur
Devin Elysia D.

Raka pikir, ayahnya serupa dedaunan: terus bekerja demi kelangsungan hidup sebuah pohon tanpa berpikir ia bakal menua dan gugur juga.

Ayah adalah pemikir revolusioner. Ia memiliki kegelisahan agung akan hidup dan memutuskan untuk mengabdi pada dunia ilmu pengetahuan guna mengatasi hal itu. Ia berani dan kontroversial, karenanya banyak orang menganggap Ayah sebagai robot hidup. Namun, ketika melihat mata tulus yang siang-malam bekerja merealisasikan segudang ide, Raka tahu Ayah melakukannya karena fanatisme terhadap hidup—“pohon" mereka—secara universal.

Meski seorang diri, Raka percaya ayahnya adalah seorang yang baik hati.

Ketika Ayah memulai penelitian gila tentang solusi overpopulasi, publik kian geram dan akhirnya melontarkan cacian. Pemerintah lamat-lamat turun tangan. Instansi serta donatur kabur untuk menyelamatkan saham serta reputasi mereka. Walau Ayah kukuh melanjutkan penelitian, desakan berlanjut menuju diskriminasi, sampai-sampai Ibu memilih untuk pergi.

"Raka, Ibu akan pergi... tidak tahan dengan semua ini."

Raka tersenyum kecut. "Bukankah Ibu pergi karena tidak tahan dengan cacian orang-orang?"

Kendati masyarakat selalu mengkritik dan kepolisian kerap keluar-masuk rumah mereka, Raka tetap percaya ayahnya adalah seorang yang baik hati. Ia tidak pernah goyah akan hal tersebut; yang ia ragukan justru dunia ini, masyarakat ini, bahkan dirinya sendiri.

Raka selalu bertanya dalam diam, mengapa masyarakat selalu menghakimi tanpa mengulik lebih dalam? Apakah mereka tidak bisa menerima rasionalitas yang dipadu kemanusiaan? Tidakkah mereka mengerti, daun itu hanya ingin berbuat sesuatu untuk pohon kita?

Apakah... ia harus menjadi seperti mereka agar mereka mau mendengarkan?

"Ayah, bolehkah kita menjadi orang jahat?"

"Memang orang jahat itu seperti apa, sih? Apakah Robin Hood termasuk orang jahat?" Ayah masih bisa tertawa meskipun sirene polisi mendenging di depan rumah. "Semesta lebih luas dari kaca mata kita. Tuhan tidak melarangmu menjadi orang jahat, tetapi ia menginginkanmu menjadi seorang manusia."

Terkadang, Raka berpikir ayahnya adalah seorang altruis naif. Ia berharap Ayah melepaskan semua penelitian itu dan menjadi manusia normal yang melakukan kebaikan standar (yang pastinya dibantah oleh sang tokoh utama).

Lucunya, kenaifan itu justru membuat Raka tidak bisa berkutik dan menuruti semua perkataan Ayah. Meskipun, itu berarti ia menulikan diri atas batinnya sendiri yang ibarat tidak lagi memijak kenyataan.

*

Di satu waktu, ketika Raka benar-benar pasrah dan hilang tempat berpijak, ia genggam kedua tangan keriput itu, lantas mengucapkan pertanyaan agung yang bercokol sedari kanak—dengan suara parau yang berusaha ia sembunyikan, "Aku tahu Ayah tidak akan pergi pun kembali, tetapi haruskah begini caranya? Dengan dianggap sebagai penjahat?"

"Jostein Gaarder menulis, butuh miliaran tahun untuk menciptakan manusia dan hanya butuh sedetik untuk mati. Lalu, apa arti hidup kita selama ini? Apakah perbuatan kita salah atau benar bagi kehidupan? Kadang kala kita tidak menemukan jawaban itu saat mati, Nak, melainkan beratus-ratus tahun kemudian," Mata Ayah meneduh laksana embun di dedaunan pinus, "sama halnya dengan daun: ia tidak akan tahu sumbangsihnya pada sebuah pohon besar hingga pohon itu tumbuh lebat dan membawa kebahagiaan bagi makhluk hidup lain."

Raka bergetar. "Ayah, aku pasti merindukanmu."

"Teruslah merindu, Nak, karena ciri penghuni surga adalah mereka yang selalu merindukan kebajikan... dan terus mencari apa itu kebajikan."

Rembulan tepat di tengah angkasa ketika pertanyaan, kehidupan, serta daun itu luruh-membusuk di tanah.

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang