[cerpen] Mata Seorang Remaja

1.7K 102 17
                                    

[surat]
Mata Seorang Remaja
Devin Elysia D.

Sebuah sungai terbentuk di wajah sayu Bunda: panjang, amat panjang. Tidak ada yang dapat menghentikannya dan memang tidak sepantasnya dihentikan; Bunda ingin menikmati dingin airnya bersama harum bunga kamboja yang jatuh di pusara Rian.

"Rian, kamu cerdas, pantas untuk menjadi dokter seperti kami."

Masih basah; dan Bunda berharap dapat kembali mendengar kisah-kisah menakjubkan Rian-pecinta sains sekaligus seni rupa, putranya yang santun dan selalu tersenyum, permatanya-sebagaimana dahulu ia mendengar tangis Rian di dunia. Masih sama; bahkan kisah terakhir Rian tentang kunjungan ke tempat yang terkena wabah tetaplah bersemangat serta menggugah.

Pelukan itu masihlah Rian yang ia kenal.

Oleh karena itu, pantaslah jika sungai terbentuk dan urung hancur ketika permatanya, anak semata wayangnya, tertidur bersama lautan darah dari nadi yang telah terluka parah. Sebanding dengan duka, Bunda justru bertanya: mengapa bisa demikian?

"Rian, kamu selalu tersenyum dan menceritakan banyak hal hebat pada Bunda, termasuk kamu yang ikut serta dalam kelompok peneliti khusus tahun ini. Kamu tidak pernah mengeluh, lalu apa yang salah?"

Tidak ada yang sanggup menjawab, sedangkan suara itu, pelukan itu, kisah-kisah menakjubkan itu... Menyiksanya secara perlahan.

*

Wajah Bunda masih mendung ketika ia memasuki kamar itu (yang tertata rapi meskipun empunya telah pergi). Tidak ada lipatan di seprai biru dan komputer sempurna mendingin dengan partikel debu di sekitarnya, ibarat tempat itu telah lama ditinggalkan (dan akan begitu kodratnya).

"Apa ini?"

Ia tengah menyusuri ruang memori ketika menemukan tumpukan kertas berkerut. Sebuah surat-catatan, mungkin, sebab wujudnya menyerupai kertas lusuh-yang amat santun, tulus, dan menohok di saat bersamaan.

Tuhan, maukah Engkau membaca suratku untuk kesekian kalinya?
Bunda, aku ingin berkata bahwa aku amat menyayangimu, tetapi kata itu selalu habis di tenggorokan: sama seperti saat aku berkata jurusan ini bukanlah keinginanku dan prestasiku tidak secemerlang bayangan Bunda. Aku ingin menjadi desainer grafis, tetapi amat sulit percaya bahwa aku bisa (aku tidak akan bisa secemerlang Bunda ataupun Ayah). Aku tidak pernah yakin pada cita-citaku, aku berusaha pasrah pada permintaan Bunda tapi rasanya amat menyesakkan.
Aku sekarat, tolong aku, Bunda... Benda itu bahkan menjadi momok menakutkan bagiku.
Bunda, rasanya ingin mati... tapi aku akan bertahan sampai keinginanmu terwujud.

Bunda tercekat lama. Amat lama.

Hari itu, hujan turun memenuhi sungai Bunda-deras, amat deras-bersamaan dengan ditemukannya banyak coretan kasar yang terselip di buku catatan, di kertas sampah, di meja kayu yang tidak lagi mulus, di ponsel yang tidak pernah terkunci-lalu, barangkali, akan butuh banyak waktu bagi Bunda untuk berhenti menangis menganak sungai serta memaafkan dirinya yang gagal menjadi orang tua.

*

Dunia kami sangat liar serta penuh permainan tipu-tipuan; karena itu, para orangtua, lekaslah pergi ke kamar anakmu dan renungkan hal ini sembari memandang wajahnya yang terkadang gelisah: apakah anakmu baik-baik saja? (*)

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang