[cerpen] Konsekuensi

754 45 5
                                    

[ujian]
Konsekuensi
Devin Elysia Dhywinanda

Apa yang mesti kulakukan?

Setiap ujian, ketimbang menghafal Dalil Menelaus dan Hukum Avogadro, Amer memilih memikirkan apa yang mesti ia lakukan. Sudah bukan rahasia lagi jika budaya menyontek telah mengakar di kalangan pelajar; masalahnya adalah bagaimana kau beradaptasi dengan teman-teman yang saling berbisik; buku dan ponsel yang disembunyikan dari lingkup pandangan guru; tangan-tangan yang mencolek bahumu.

Awalnya, Amer mengatasinya dengan baik (ia tersenyum dan menolak permintaan mereka). Namun, masa SMA menuntut kebebasan berlebih. Tahu-tahu, keramaian saat ulangan harian menjadi hal yang familiar, dan Amer hanya bisa diam di meja terdepan bersama Fikha, teman seperjuangannya sejak SMP.

"Mer, apa yang harus kita lakukan?"

"Udahlah, jalani saja seperti waktu SMP."

Wajah-wajah berharap itu masih datang, tetapi lamat-lamat kian kentara lelah, marah, muak ... sampai pada satu titik, pandangan mereka berubah amat sinis pun dingin. Intensitas pertanyaan saat ujian menurun—terus, terus—sampai akhirnya lenyap; lalu, tiba-tiba, keadaan menjadi amat sunyi bagi mereka berdua.

(Apa yang mesti kulakukan?)

"Kita harus dinamis, Amer. Apa salahnya, sih, memberikan satu-dua jawaban pada mereka?" putus Fikha suatu hari. Amer ingin mengatakan banyak hal pada gadis berkerudung putih tersebut, tetapi manik sendu Fikha membuatnya gamang. "Toh, niat kita, 'kan, untuk mendapat teman... bukan untuk berbuat dosa. Niat kita baik, 'kan?"

Apa itu kesepian? Apa itu makhluk sosial? Sains mengatakan bahwa spesies terkuat adalah mereka yang dapat beradaptasi dengan lingkungan; tetapi apakah ikut serta dalam kecurangan adalah sebuah "kebenaran"? Apakah menjadi "makhluk sosial" adalah salah satu bentuk kemanusiaan?

Salahkah ... jika manusia menjadi jahat hanya untuk mempunyai teman?

"Siapa yang tidak mengerjakan Uji Kompetensi 1?"

"Amer, Bu!"

Apa yang mesti kulakukan?—Amer memendam pertanyaan itu dalam-dalam, kemudian tertawa dalam hati lantaran tahu ia selalu kembali pada jawaban serupa: bahwa ketimbang beradaptasi, ia memilih menjadi spesies yang punah.

Amer bangkit, tersenyum miris, lantas begitu ke luar kelas, ia ingat ketika teman-temannya memilih untuk tidak memberitahukan tugas ketika ia sakit atau dispen olimpiade; saat ia dipaksa menyelesaikan tugas kelompok sendirian; tatkala ia didepak dari grup dan harus bersusah payah bertanya pada Fikha (yang masih sudi berkomunikasi dengannya)—dan, ketika semua ingatan itu terangkum dan dikaji secara menyeluruh, ia menemukan sosok dirinya yang lain... yang terlihat amatlah kesepian.

*

Lorong lengang; Amer menatap tiang bendera yang kentara jelas dari jendela besar di lantai dua. Ia kini sendirian, selalu demikian, dan ia paham mengapa bisa terjadi: bahwa mereka yang menentang bakal dikucilkan. Itulah hukum absolut di kelas mereka.

Amer tertawa keras, menertawakan dirinya yang menyedihkan—ortodoks: yang memuja kejujuran alih-alih mencari kawan. Semua orang paham bahwa tidak ada manusia yang memilih sendirian; tetapi, barangkali, tidak akan ada yang mengerti bahwa ujian melawan diri dan ego sendiri lebih mengerikan ketimbang menghadapi sesuatu bernama "nilai" dan "peringkat".

"Aku kesepian, Sialan." (*)

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang