[pantai senja/matahari]
Matahari di Pangkal Samudra
Devin Elysia Dhywinanda
Perempuan itu telah bersuami-cucunya genap balita beberapa tahun lalu-tetapi ia selalu tepekur di sana, memilin kenangan, sembari memandang senja yang mengambil paksa pria itu ... yang berjanji akan membawanya mengarungi samudra.
Ri-Matoari-sama seperti kebanyakan pemuda Mentawai: berkulit hitam terbakar matahari. Ia yatim piatu dan sesekali mencuri hasil ladang orang-orang untuk bertahan hidup. Ketika Manua memergoki Ri mencuri hasil ladang bapaknya, Manua langsung tahu pemuda itu punya mata yang berbeda. Tidak seperti kebanyakan penduduk Mentawai yang bekerja di ladang serta berburu di hutan, Ri sering mengunjungi pesisir Mapadegat untuk melihat laut serta para turis. Ia badung; tetapi dari kebadungannya itulah Manua tersihir untuk terus duduk di sampingnya, mendengar betapa semangatnya Ri dalam menceritakan mimpinya.
Ri ingin mengarungi dunia, pergi ke Dataran Sumatera, menjadi nahkoda ke Gujarat, bahkan mampir ke Tanjung Harapan. Katanya, ia ingin melihat dunia.
Manua mempelajarinya di sekolah, tetapi Ri menceritakannya dengan bergairah ... dengan semangat meletup di manik arangnya. Manua tidak jemu mendengarkan di sampingnya, dengan khidmat pun setia, setiap hari, setiap sore.
"Saya akan membawamu mengarungi samudra," ucapnya suatu hari; dan gadis bergigi tajam itu tertawa meremehkan, bertanya alasannya. Ri menjawab sembari memandang senja di lepas pantai Mapadegat, pantai kebanggaan mereka, "Karena kamu istimewa."
"Kamu orang pertama yang mau menerima saya-setelah laut, pasir putih ini. Kamu seperti matahari. Jadi, kamu sangat istimewa."
Senja melahap wajah bersemu Manua ketika Ri mengatakan hal itu.
Mereka tumbuh dengan tawa di bawah sinar matahari serta di rerimbunan pohon bakau. Mereka menebar impian di perairan Hindia sembari menggambarkan banyak mimpi indah. Mereka menunggu Tuhan memberikan satu kesempatan itu sehingga Ri dapat berlayar ke Daratan Sumatra; lalu Manua akan ikut bersamanya mengarungi dunia.
"Saya akan memastikan bahwa laut menerima kehadiran kamu," kata Ri saat kesempatan pertama datang. Manua tertawa; Ri tertawa; takdir tertawa terbahak.
Sore itu, badai menghantam, memporakporandakan ruang kecilnya, membawa serta Ri dalam dekapan Ibu Laut; selamanya. Orang-orang mengatakan ia telah kandas dihantam ombak; beberapa mengatakan ia menemukan pekerjaan menarik dan akhirnya menetap di suatu kota, menikah, lantas melupakan semua-tetapi telinga Manua mendenging. Ia tidak mendengar apa-apa dan memilih tidak mendengar apa-apa. Perlahan, ia menjadi karang di sudut Mapadegat; menunggu sembari memilin kenangan yang berubah menjadi fosil tak kasat mata. Menunggu seseorang datang dari pangkal samudra dan mengajaknya mengelilingi dunia.
*
Perempuan itu telah habis dimakan usia; kulitnya telah bergelambir pun keriput, tetapi ia tidak pernah lelah duduk di atas karang: menghabiskan waktu, menunggu Ibu Laut melumatnya ke dasar Hindia dan ia dapat melupakan semua kenangan itu.
Tidak ada yang tahu ia terus menerus menunggu; dan memang tidak ada yang perlu tahu.
Sore itu, laut bergemuruh; matahari mengirim seseorang dalam perahu. Seorang remaja laki-laki. Kulitnya hitam terbakar matahari. Gigi putihnya bersinar mengalahkan semburat jingga yang menelusup lewat tubuh kokohnya di usia muda. Dan, Manua tidak kuasa menahan senyum. Telapak kakinya telah pecah-pecah oleh panas, tetapi ia tetap berdiri dengan gemetar, mengeja: sudah lama, Ri, sudah sangat lama.
Remaja itu mengulurkan tangan, tertawa jenaka. "Halo, Manua! Saya tahu ini terlambat, tetapi masih ada waktu untuk mengarungi samudra, bukan?" (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]
Fiction généraleAda tantangan. Ada ide. Ada bahasa yang menerjemahkan keruwetan dalam kepala. Ada kata yang merangkai sekian peristiwa. Ada dua jenis karya sastra yang tercipta setiap waktunya. [Kumpulan puisi dan cerpen yang diikutkan dalam Weekly Event Frinity Pu...