Prasasti
Devin Elysia Dhywinanda"Aku mau jadi prasasti. Biar abadi di hatimu." Al tertawa jenaka-matanya ikut-ikutan tersenyum-sedangkan aku bergeming, melanjutkan memilah tumpukan kertas usang di gudang panti, mengabaikannya yang terus saja berputar sembari membeo.
Al memang begitu. Kendati sepantaran, ia kentara amat kekanakan. Ketika masih di panti, ia selalu memaksaku membacakan buku-buku fairy tale koleksinya, bahkan bersekongkol dengan penghuni lain yang masih muda untuk membuat berantakan ruang bermain di bagian tengah. Orang-orang telah membiarkan lakon gilanya, tetapi aku dengan tolol tetap mengingatkannya-dan ia selalu punya alasan untuk menyanggah perkataan sarkasku.
Pernah, saat menonton film Twilight di televisi, ia menceletuk ingin hidup abadi serta menyebut Edward bodoh karena tidak mengabulkan keinginan Bella untuk menjadi vampir. Jam menunjuk pukul satu dini hari dan penghuni panti lain telah terlelap. Aku, yang memang menemaninya dengan ogah-ogahan, nyaris menanggapi hingga ia menghabiskan camilan seraya berkata, "Mereka hanya tidak melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Kalau aku, sih, pasti langsung memilih buat hidup selamanya."
Film telah menginjak scene prom night ketika aku bersyukur menjadi pendengar tunggal atas pernyataan Al.
Setelah itu, suasana panti menjadi lebih tenang dan Al berubah sedikit normal. Ia masih tersenyum lebar sembari sesekali menceritakan hal-hal tidak masuk akal. Kertas gambar, buku dongeng, serta foto-foto konyol berserakan di ranjangnya. Candaannya masih segaring dulu ketika aku mengkritik sikap random-nya. Al masih kekanakan, seperti dulu, dan kupikir ia akan terus seperti itu-tetapi, ketika pernyataan ironis itu keluar, ia lekas melihat potret kami ketika SD. "Dulu, aku sempat ingin menjadi penjahat, tetapi aku sadar bahwa aku terlalu kecil untuk melakukan hal itu."
Al menghela napas dan, seketika, aku benci melihatnya menjadi orang normal. "Aku ingin dikenang, tetapi aku takut tidak pantas mendapatkannya. Aku takut hilang dalam sejarah. Aku takut bila batu nisanku kelak digusur karena pembangunan. Aku ingin menjadi seseorang yang berguna, tetapi aku sadar tidak bisa melakukannya." Tangannya tremor kecil.
Aku mendengus. "Fokus saja pada apa yang kauinginkan di dunia ini. Tidak usah melihat ke belakang," Ucapanku terhenti sejenak, "aku selalu ada di belakangmu. Kau harus ingat itu."
Ia mengerjap. "Selamanya?" tanyanya, yang kujawab dengan berdeham. Tidak puas, ia kembali mengajukan pertanyaan serupa, "Selama-lama-lama-lamanya?"
"Just shut up and do your treatment, Kid."
Saat itu, Al tertawa lepas, sedangkan aku memandang datar playgroup yang memang terletak di samping tempat ini, tidak menyadari apa yang kelak terjadi. Waktu berlalu dan dunia berubah teramat cepat seperti kelereng yang berbenturan dengan gugusan kelereng lain. Aku tidak suka hal picisan, tetapi baru sekarang memahami bahwa membuat janji dengan orang seperti Al hanya mencipta luka permanen. Sesuatu yang muskil dihapuskan.
*
Al masih mengoceh, menceritakan seberapa banyak ia menggambar ulang pemandangan di panti asuhan-serta seberapa sering aku menyingkirkannya ke dalam kotak karena mengotori dinding rumah sakit-ketika air mataku menetes tidak diundang, menetes di atas gambar bodoh yang sedari tadi kupegang. Aku mengeratkan genggaman, kemudian dengan cepat berbalik. Dapat kupastikan ia menahan napas lantaran kami nyaris berciuman ... tetapi apa makna interaksi tersebut bila akhirnya aku hanya mencium udara hampa?
Aku menarik napas, berusaha mengontrol emosi berlebih yang akhirnya tumpah. "You've seen it, Al. So, can you let me go and enjoying my life ... once again?"(*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]
General FictionAda tantangan. Ada ide. Ada bahasa yang menerjemahkan keruwetan dalam kepala. Ada kata yang merangkai sekian peristiwa. Ada dua jenis karya sastra yang tercipta setiap waktunya. [Kumpulan puisi dan cerpen yang diikutkan dalam Weekly Event Frinity Pu...