[cerpen] Invidia[1]

688 40 2
                                    

[origami]
Invidia[1]
Devin Elysia Dhywinanda

"Kau boleh datang ke istanaku."

Kau abai, tentu, tetapi setelah menyebut namanya, aku tahu kau bakal tertambat sepenuhnya dalam duniaku.

Kau menggamit lenganku. "Apa syaratnya?"

Kau tersenyum hingga pipimu nyaris sobek dibuatnya—dan itu mengingatkanku pada aktris hebat yang selalu menyembunyikan pedang di belakang tubuhnya. Kau adalah munafik ulung yang malang-melintang di layar kaca: kausembunyikan ambisi mahabesarmu akan dunia peran. Kau berpura-pura menjadi sahabat terbaiknya, padahal setengah mati berharap maut lekas menjemput gadis bermata indah tersebut. Kau ingin panggungmu sendiri: gemerlap popularitas tunggal yang enggan berbagi tempat barang sejengkal. Jadi, sudah pasti keberadaanku amat penting untuk impianmu, 'kan?

"Buatlah seribu origami bangau hitam; dan kukabulkan permohonanmu, sebagaimana dongeng leluhurmu dahulu."

Matamu berkilat. Kau cium pipiku lantas terlarut untuk membuat seribu bangau hitam—bukan untukku, sejatinya, melainkan mimpi yang membuatmu gila. Kau membuatnya siang-malam hingga tanganmu nyaris keriput; bahkan netramu kian gelap, gelap... sampai kau tidak dapat melihat apa-apa selain esensiku seorang.

Hanya aku; dan memang aku yang kautuju.

*

"Sekarang, ajak aku ke sana."

Pagi pasca natsumatsuri[2] yang kelabu. Publik berduka lantaran dia berpulang di waktu yang semestinya sangat dinantikan: kembang api salah mendarat di van putih yang ia tempati, membakarnya di tengah letupan lain di langit Saitama. Menyedihkan, pergi di umur yang teramat muda, begitu kata banyak orang... termasuk kamu yang menangis dengan senyum kemenangan di hati paling tinggi.

(Kamu bahagia, 'kan?)

"Ia pergi amat cepat... bahkan aku tidak pernah membayangkan akan bermain film tanpa kehadirannya. Kami dibesarkan di panti asuhan yang sama, merasakan perjuangan yang sama, rasanya sangat aneh ketika kau tahu seseorang itu tidak dapat lagi memeluk tubuhmu, seperti yang sudah-sudah," katamu saat konferensi pers film terbaru. Mestinya ada dia di sana; sayang, impianmu terwujud lebih cepat dari seharusnya.

Beberapa fans fanatikmu menyebutnya sebagai eulogi yang menyentuh, tanpa mengetahui bahwa kamu sudah bertahun-tahun menginginkannya: kamu memang ingin bermain sendiri.

Bahkan, setelah kejadian itu, kau hanya sekali berterima kasih dan kemudian meninggalkanku, terlarut dalam ingar-bingar dunia hiburan yang memenuhi gendang telinga. Matamu yang menyiratkan suka cita—ibarat bayi tanpa dosa—menegaskan betapa manusia memuja dan menuhankan mimpi-mimpi mereka. Sendirian.

Sedangkan aku, memperhatikanmu yang kalap oleh afeksi berlebih impian. "Shin, kau sama saja dengan mereka."

Ya, kamu memang serupa dengan manusia lain; yang memanjatkan doa untuk sebuah kemaksiatan; yang bahagia ketika Tuhan—tuhan versimu, barangkali—mengabulkannya ... tanpa tahu namamu sempurna tercatat di salah satu tingkatan neraka: di kerajaanku, Rasa Iri di Hati Manusia. Atau, barangkali kamu tahu ... dan mengabaikannya untuk semua popularitas itu? Entahlah, buat apa aku memikirkan nasib orang-orang sepertimu? Toh, aku sudah mendapat kawan baru di ranah membara ini.

Dan, akan lebih banyak lagi.

Aku menyeringai dalam. "Oh iya, selamat menikmati istanaku, Shin." (*)

[1] (bhs. Latin) Iri hati; salah satu Tujuh Dosa Besar
[2] festival musim panas

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang