[cerpen] Purgatorio[1]

422 17 2
                                    

Purgatorio[1]
Devin Elysia Dhywinanda

Setelah mengalami tidur abadi, manusia akan datang ke sini—tempat penghitungan, menurut banyak kitab suci. Di sini, mereka akan mendapat catatan rinci semua kebajikan serta kejahatan yang telah dilakukan semasa hidup secara transparan. Tidak ada manipulasi, apalagi praktik kolusi. Kau dapat melihat seberapa luas samudera air mata terbentuk pun raut tegang di wajah para terdakwa, menegaskan bahwa kematian adalah kengerian definitif.

Kendati demikian, tenang dan tersenyumlah ... sebab kamu masih punya satu kesempatan di dunia ini.

Eve menghela napas, melihat gerbang bersepuh emas penuh orang-orang berwajah sumringah. Purgatorio, sebuah fasilitas yang diberikan kepada yang ingin mengulang kehidupannya dalam wadah anyar. Reinkarnasi, kata agama Buddha. Kesempatan kedua setelah mati. Karenanya, tidak heran bahwa peminat fasilitas tersebut amat banyak jumlahnya. Meskipun, Eve menganggapnya sebagai omong kosong. Harapan utopis.

"Tidak berniat kembali?” tanya seorang pemuda berambut pirang dan bermata lazuardi. Kulitnya seputih salju. Tangannya lentik seperti wanita, tipe keturunan bangsawan.

Sang gadis berambut cokelat ikal mengerling, menghela napas malas. "Tidak. Buat apa? Berharap bisa menjadi manusia yang lebih baik? Memang, ada jaminan kita tidak akan menjadi sosok sebejat dulu?" Ia melihat nomor antrean yang berjumlah dua belas digit. "Toh, aku tidak menyesal membunuh seorang penjahat di negeriku. Jadi, buat apa aku kembali?"

Pemuda itu berpendar kagum, berkata bahwa Eve sangat percaya diri, sedangkan empunya tertawa sarkas. "Tentu saja. Berharap lahir sebagai orang suci menyerupai berharap seseorang yang waras hadir di antara petinggi berlogika emas. Hanya berakhir menelan air mata darah.”

Ada hening menyebalkan yang meletup di antara teriakan orang-orang. Eve sungguh tidak peduli, tetapi tanggapan pemuda itu seketika mengganggu sesuatu dalam dirinya.

"Maaf, kau jadi mengingat hal-hal buruk."

Eve menghela napas. "Buat apa minta maaf? Aku tidak menganggapnya sebagai hal buruk." Ia memutar mata. "Lalu, mengapa kau bisa sampai di sini?"

Mata biru itu kentara terkejut, berubah menjadi sendu. "Aku ... mati dibunuh oleh orang-orang yang membenci keluargaku." Ia tertawa canggung begitu Eve memandangnya tajam, tidak suka. "Yah, keluargaku adalah keluarga, sih. Tidak heran banyak yang membenciku. Itu biasa.”

Eve mendengus. Tidak suka dengan pesimistis si Mata Biru. Selama ini, ia hidup melawan takdir—ibunya yang melarang bersekolah di ibukota; redaksi majalah yang terus memerintah untuk membuat berita sesuai keinginan pemerintah; eksekutif yang menggemukkan kantong tanpa sadar busung lapar terjadi di mana-mana. Hidup bukan hanya menuruti persepsi orang tentangmu, melainkan mempertahankan apa yang telah kaupercayai. Karena itu, perkataan si Mata Biru menciptakan gejolak tersendiri baginya yang selalu hidup mandiri.

"Berhenti jadi pesimis. Kau adalah kau. Mereka adalah mereka. Jika memang punya pikiran yang berbeda dengan mereka, tunjukkan dengan percaya diri. Tidak ada yang berhak mengomentari pilihan orang lain selama dia bertindak sesuai norma."

Pemuda itu terdiam, lalu tertawa kecil sembari melihat pemandangan merah di sekeliling mereka.

"Katanya, yang memilih untuk mati juga bisa melihat kejadian di dunia sana ... yah, tapi itu kalau mereka tidak berendam di lautan magma, sih."

Eve mendengus. Baru saja ia ingin membalas guyonan satir itu, tetapi pandangan teduh dari cakrawala bening itu membekukannya.

"Aku tidak mau berjanji. Kau juga tidak perlu menganggap perkataanmu serius. Tapi, aku ingin satu kesempatan lagi."

Pemuda itu tertawa jenaka. Berbeda dengan terdakwa-terdakwa brutal yang kerap berkelahi untuk bisa mencapai Purgatorio lebih cepat. Sedangkan, Eve hanya mengernyitkan dahi, menetralisir jantungnya yang berpacu lebih cepat bersamaan dengan panggilan keras dari Kubah Penimbangan ketika si Mata Biru mengucapkan sebuah pernyataan, "Aku ingin menjadi pemimpin yang bijak ... tidak seperti ayahku yang membuat negeri kita sengsara." (*)

[1] (bhs. Italia) api penyucian; juga merujuk pada bagian kedua dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri.

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang