"Udah dong, Fa. Jangan bete gini."
Gadis berkacamata menghela napas, meminum habis es jeruk. Lalu ia menggeser kursi yang di dudukinya sedikit merapat ke meja, mencondongkan badannya ke depan, lalu berkata pelan setelah melirik keadaan sekitar.
"Si botak Jefri kan emang gitu. Umur masih kepala empat, tapi liat rambutnya udah menipis. Jadi gak heran, dia emang temperamennya tinggi."
Gadis bernama Ulfa, menegakkan tubuhnya. Melipat tangan di dada sambil memandang wajah menyedihkan sahabatnya. "Pfft... Ha ha ha... buang ekspresi itu, Fa. Kayak habis diputusin doi aja."
"Yang kualami lebih parah dari itu!"
Ifa tak menghiraukan kalimat itu. Ia terus menyuapkan nasi soto ke mulut. Kejadian siang tadi benar-benar membuat moodnya berantakan. Benar kata ayahnya, siapkan mental saat intership lakukan tanpa melibatkan hati. Bagi Ifa itu tak mungkin. Karena gadis ini paling tidak bisa dimarahi. Jika saja tadi Romy tak ada, mungkin dia sudah menangis karena terus-terusan dimaki dokter Jefri.
Ifa tahu ia salah, karena telat satu jam memeriksa pasien. Tapi, haruskah dibentak di depan anak Coas lainnya? Hari ini hanya Ifa dan Romy yang bertugas. Sedangkan si kembar Vano dan Vani tidak bisa masuk karena mereka sakit diare. Jadilah mereka yang bertanggung jawab mengontrol keadaan 40 pasien.
"Lo kayaknya butuh hiburan deh, Fa. Tapi, bingung juga sih. Sebenernya hiburan macam apa yang cocok buat lo? Secara lo itu gak suka ngegame, hang out gak suka, nonton film gak suka, ngelukis juga gak suka. Baca novel apa lagi."
Ifa tersenyum tipis. Meraih botol air mineral, lalu meminumnya. "Gue sukanya makan." Lalu gadis berambut lurus sepinggang itu kembali menikmati makannya.
"Iya, gue sampe iri sama, Lo. Kenapa lo gak gendut-gendut, sih?" Kalimat itu membuat Ifa terkekeh kecil.
Ulfa lega,setidaknya Ifa masih bisa tertawa dengan lelucon recehnya. "Heh, Ifa. Gue lagi seneng. Akhirnya gue udah namatin baca novel terlaris dan langka jaman Mama. Ceritanya bikin gue sampe nangis nyesek tau. Ceritanya itu...."
Ifa melirik sekilas ke Ulfa. Gadis itu sangat menghayati sesi mendongengnya. Sejak SMP. Ulfa itu maniak novel. Dia selalu saja menceritakan kisah fiksi itu pada Ifa setiap kali dia selesai membacanya sampai habis.
Dan, sedikitpun Ifa tak tertarik mendengarkan kisahnya. Kenapa? Itu cuma fiksi, bagi orang seperti Ifa membaca novel cuma membuang waktu sia-sia.
Ifa memandangi buku novel yang baru saja Ulfa keluarkan dari tasnya. Dengan ekspresi yang berubah-ubah, Ulfa terus menceritakan kisa itu pada Ifa. Ada hal yang janggal di beberapa kalimat Ulfa. Nama tokoh dan cover novel itu... sangat familiar bagi Ifa.
"Mereka menikah dan punya anak?" sela Ifa.
Dengan senyum lebar, Ulfa mengangguk. "Iya, keajaiban yang luar biasa banget gak sih? Denger-denger, novel ini dari kisah nyata. Dulu cerita ini sempet mau diangkat ke layar lebar, karena banyak pembaca yang gak kebagian novel ini. Stok terbatas cuma lima ratus copian.
Saat penulis menolak mencetak lebih banyak novelnya. Produser berlomba-lomba membuat film ini karena diperkirakan bakal laris di pasaran. Tapi, entah kenapa dibatalin. Yang pembaca tau, penulisnya menolak novel itu dijadikan film."
Ifa hanya terdiam. Ia mengalihkan pandangan pada Ulfa yang menggerutu setelah melirik jam ditangannya. "Ifa, gue cabut dulu ya. Udah waktunya gue tugas jaga."
"Ulfa, tunggu!"
Pemilik nama masih berdiri di dekat meja. Ifa mengunci pandangan, pada tangan kanan ulfa yang membawa sebuah novel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
Любовные романыPerjuanganku selama tiga tahun mempertahankan rumah tangga yang melelahkan ini, sepertinya akan sia-sia. Aku memilih untuk berhenti saja. Cinta kami tidak cukup membuat bahagia. Kekayaan yang dia punya, juga tidak mampu menghapus tangis rintihan hat...