Bab 9. Makan Malam
"Mama sedih mendengar berita kegagalan program hamil kalian lagi."
Tak ada sahutan, hanya suara dentingan sendok yang menggema di ruang makan ini. Ruangan yang secara tidak sengaja membuatku dan Yudha akrab dua belas tahun silam.
Dua hari yang lalu, setelah pulang dari Amerika. Ibu mengundang kami berdua makan malam di rumahnya. Yudha saat itu sempat menolak untuk datang, tapi tentu saja aku tak akan membiarkan suamiku menolak perintah ibunya tanpa alasan.
"Padahal mama udah berharap banget kemarin. Ini kegagalan yang ketiga kalinya kan?"
"Hemm, Mama doakan saja semoga kemarin adalah kegagalan yang terakhir."
Yudha menjawab tanpa menatap ibu, ia masih sibuk dengan makanannya begitu juga dengan ayah.
"Mama pengen banget kamu segera punya anak Yudha. Mama 'kan juga pengen bawa cucu mama main keluar, kaya temen-temen mama."
Aku menggenggam erat sendok yang ada di tanganku. Rasanya seperti ada ribuan jarum yang menancap di jantung. Sesak dan perih.
"Sudah terlalu banyak uang yang terbuang sia-sia," kali ini mama meletakkan sendoknya.
"Kamu yakin istrimu itu masih bisa diharapkan?"
Yudha melirik kecil ke arahku. Tangan kanannya yang sudah tidak memegang sendok lantas meraih tangan kiriku dan menggenggamnya erat.
"Ma dokter bilang, Ivy masih punya peluang. Jadi kami gak akan berhenti gitu aja."
"Udah terlalu banyak biaya yang kamu keluarin kan buat program hamil itu."
"Aku bisa cari lagi uangnya, Ma."
"Anne kita doakan saja mereka, biar Allah mempermudah semuanya." Kali ini ayah yang bicara.
Ibu berdecak kecil lalu kembali berkata, "Istri kamu itu mandul. Mau sampe kapan nunggu lagi? Sia-sia aja semua usaha itu. Capek mama denger berita istri kamu gagal hamil terus."
"Kamu keterlaluan Anne." Sekarang ayah benar-benar meletakkan sendok makannya.
"Kenapa? Aku salah lagi?"
"Kita di sini ngundang mereka buat support mereka, kenapa kamu malah begini," imbuh ayah.
"Hah, emang kenyataannya begitu kan. Keluarga ini butuh perempuan yang berguna, yang bisa ngasih penerus buat keluarga Prayata, bukan wanita mandul seperti dia."
Aku menarik tangan Yudha yang mengajakku untuk bangkit dari duduk lalu pergi dari sini. Tidak bisa, ibu sedang bicara dengan Yudha. Dia tidak boleh meninggalkan ibu begitu saja.
"Bisa gak mama jangan kasar sama wanita ini. Dia istri aku, Ma. Anak mama juga."Aku bisa mendengar suara hembusan lelah napas suamiku.
"Lagi pula yang membuat Ivy susah punya anak, karena mama juga. Mama udah bikin Ivy stress, mama yang buat Ivy jadi gak fokus ikut program hamil."
Aku menggeleng pada Yudha, semua kalimat Yudha bisa saja menyakiti hati ibu mertuaku.
Ibu tersenyum kesal membuang pandangan ke arah lain. "Kamu menyalahkan Mama seolah semuanya adalah salah mama." Aku tak kuasa berkata apapun, Yudha diam begitu juga ayah.
"Mama rasa jalan keluar terbaik dari masalah ini adalah kamu menikah lagi Yudha."
Yudha mendelik lalu berceletuk, "Aku mencintai istriku, Ma. Hanya istriku."
"Realistis aja Yudha, kamu udah dewasa. Udah bukan saatnya yang kamu pikirin hanya cinta dan cinta. Tujuan Mama merestui hubungan kalain agar Mama bisa segera melihat penerus keluarga ini, cucu Mama. Tapi apa? Wanita itu bahkan tidak bisa menghasilkan anak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
RomancePerjuanganku selama tiga tahun mempertahankan rumah tangga yang melelahkan ini, sepertinya akan sia-sia. Aku memilih untuk berhenti saja. Cinta kami tidak cukup membuat bahagia. Kekayaan yang dia punya, juga tidak mampu menghapus tangis rintihan hat...