Bab 6. Bertahan
Sudah lima belas menit sejak menyelesaikan sholat maghrib munfarid. Aku masih betah duduk bersender di pinggir ranjang dengan mukena biru yang membalut tubuh. Sajadah krem pun masih setia melindungiku dari dinginnya lantai yang menusuk kulit. Iris gelap ini, sejak tadi terjebak pada benda itu, figura foto pernikahanku. Di sana ayah dan ibu berdiri di belakang pengantin, tersenyum bahagia dengan beribu doa akan kehidupan baru putranya.
Setahun pernikahan kami. Harapan demi harapan yang semakin tumbuh di benak ibu mertua terasa semakin menekan batinku. Aku tak tau harus berbuat apa atas keinginan ibu untuk memiliki cucu, sementara Yudha selalu menolak "menyentuhku" dengan alasan ingin menunda kehamilan. Hingga hari itu datang dan melenyapkan semua harapan. Aku dinyatakan mandul.
Belakangan ini, tekanan itu teramat menyakitkan. Tiga tahun pernikahan, mungkin ibu sudah lelah menungguku. Sampai kedatangannya sore tadi semakin membuat perih luka di hatiku.
"Sekarang sudah jelas kamu tak bisa hamil, berhentilah memberi harapan pada Yudha. Biarkan dia menikah dan memiliki bayi dari wanita lain. Keluarga ini menginginkan seorang penerus dan kamu tak bisa memenuhinya. Tak berguna."
Aku menunduk, menyembunyikan cairan bening yang terus mengalir. Setiap kata yang diucapkan ibu, kali ini benar-benar menamparku. Mengingatkanku akan kenyataan yang begitu getir.
"Wanita mandul sepertimu hanya membuang waktu dan menyusahkan Yudha saja. Hidup anakku pasti akan sangat bahagia setelah dia bisa jadi seorang ayah. Lebih baik ceraikan Yudha untuk kebahagiaannya atau paksa dia untuk memiliki dua istri."
Dadaku sesak, napas ini tercekat setiap mengingat semua kata-kata Ibu. Benar, keberadaanku tak ada gunanya selain hanya menjadi beban bagi Yudha. Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti berjuang. Lalu melakukan apa yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama.
Tiba-tiba rasa rindu pada ayah Hadi menyusup perlahan. Saat ini aku seperti berada pada posisi di mana aku tak lagi memiliki alasan untuk bertahan. Dulu ayah Hadi lah yang membawaku pada pelukannya sewaktu kehilangan kedua orang tua. Dialah alasanku tetap tersenyum saat itu. Walau kini aku tahu, almarhum memiliki alasan khusus menolongku saat kejadian delapan belas tahun silam.
Tiga tahun yang lalu, seminggu persis setelah acara pernikahanku. Pak Tian datang untuk meminta maaf dan berterima kasih karena telah membatalkan tuntutan Rachel pada pengadilan. Ada satu rahasia yang dia ungkap padaku saat itu.
"Saya ingin memberi tahumu satu hal yang berkaitan dengan ayah angkatmu. Hadi adalah salah satu korban dari kecelakaan lima belas tahun silam. Saat pihak yang berwenang hendak membawamu ke rumah sosial. Dia mengambil alih hak asuhmu, karena dia ingin membalas budi atas kebaikan almarhum ayahmu. Semasa hidupnya, ayah kandungmu telah banyak membantu banyak orang termasuk saya.
Kamu mirip sekali dengan ibumu, almarhum ibumu juga seorang wanita yang lembut. Sekarang saya sangat menyesal pernah berbuat jahat padamu. Dan saya terpaksa melakukannya. Mohon maafkan saya, Nak."
Suara kenop pintu dibuka menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku tersentak saat Yudha masuk ke kamar sambil mengucap salam. Kulirik jam dinding putih di dekat meja rias. Jam tujuh lebih tiga puluh menit.
"Sayang kamu kenapa?"
Ada raut khawatir dan heran menjadi satu di wajah lelahnya. Aku tersenyum kecil dan menggeleng. Aku tak mau Yudha tau tentang permintaan ibu. Setelah mencium punggung tangannya, aku melepas mukena lalu berjalan ke kamar mandi.
"Mas, aku akan siapkan air hangat untuk kamu mandi. Lalu kita sholat isya bersama."
"Aku sudah sholat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
RomancePerjuanganku selama tiga tahun mempertahankan rumah tangga yang melelahkan ini, sepertinya akan sia-sia. Aku memilih untuk berhenti saja. Cinta kami tidak cukup membuat bahagia. Kekayaan yang dia punya, juga tidak mampu menghapus tangis rintihan hat...