Bab 4. Gadis Berhijab
Aku melangkah keluar dari mobil putih dengan sedikit tergesa sambil melempar senyum, membalas sapaan dari wanita di meja resepsionis. Keadaan di kantor sedang sepi, tak seperti biasanya. Kulirik jam silver di tangan kiriku. Pantas saja, semua karyawan sedang istirahat. Setengah jam lagi jam istirahat habis.
Semoga saja Mas Yudha suka dengan makan siang yang aku bawakan, batinku sedikit melirik ke arah paper bag di tangan kanan.
Seperti biasa, aku ke sini untuk mengantarkan makan siang suamiku. Semua ini kulakukan karena memang dia tak suka membeli makanan di luar. Tak sehat katanya. Dulu, ibu yang selalu melakukan ini untuk Yudha. Tapi semenjak menikah, aku yang menggantikan tugas ibu untuk mengantarkan makanan.
Kurapikan hijab soft pink yang sedikit berantakan. Memerhatikan penampilan dari atas ke bawah lewat pantulan pada dinding lift. Tas selempang dan flat shoes bewarna senada dengan hijab yang kukenakan, terlihat begitu pas dengan gamis putih bersabuk hitam yang melekat di tubuhku.
Pintu lift terbuka di lantai dua puluh. Aku harus berlari kecil jika ingin cepat sampai di ruangan Yudha di ujung koridor. Sampai di dekat meja sekertaris. Aku berhenti sejenak, mengatur napasku yang tersengal lalu ku putuskan untuk masuk ke dalam tanpa mengetuk karena pintunya sedikit terbuka.
"Mas, ma-af."
Suaraku tercekat, mendadak lidah ini terasa sulit untuk di gerakkan. Tangan kananku menggenggam erat tali paperbag hitam berisi makanan untuk suamiku. Namun, kurasa dia tak lagi membutuhkan apa yang kubawa saat ini. Manikku terpaku pada satu titik.
Gadis berhijab merah yang entah siapa itu sedang duduk di sofa panjang persis di samping Yudha. Tangan kirinya mengelus punggung pria itu. Sedang tangan kanannya memegang sebuah gelas yang kutebak akan ia berikan pada Yudha, tapi tak sempat karena kedatanganku mengganggu kegiatan mereka. Di meja ada banyak makanan, kelihatannya mereka sedang makan siang bersama.
"Maaf. Aku permisi."
Aku balik kanan, berlari secepat mungkin. Bahkan dia tak berkata apa pun untuk menjelaskan sesuatu padaku. Yudha hanya diam, mengejar saja tidak. Berarti apa yang ku dengar hari itu benar. Kejadian yang kulihat tadi adalah buktinya.
Wanita itu calon istrinya. Mungkin Yudha sudah lelah menunggu keajaiban dari Tuhan. Bisa jadi dia sudan bosan melakukan program bayi tabung dan program hamil lainnya yang sama sekali tak membuahkan hasil.
Kalau memang iya, seharusnya aku bahagia bukan menangis seperti ini. Bukankah memang ini yang aku inginkan sejak lama. Yudha menikah dengan wanita lain, agar ia tak perlu lagi menghabiskan uangnya untuk program bayi tabung dan mengharapkanku yang penyakitan ini untuk bisa mengandung anak. Meski rasanya sakit sekali, aku tetap bahagia melihat Yudha bisa memiliki bayi walau bukan dari rahimku.
Kuhela napas, mengusap cairan bening yang masih tersisa di ujung mata. Saat pintu lift terbuka, kulangkahkan kaki dengan cepat tanpa menghiraukan beberapa orang yang menyapaku. Menunduk adalah hal yang terbaik agar tak ada yang menyadari kekacauanku saat ini. Semoga mereka tak melihatnya.
Aku meletakkan teko air di meja makan. Bergegas menuju pintu setelah mendengar bel rumah, sepertinya Yudha sudah pulang.
"Assalamualaikum," ucapnya dengan seulas senyum yang begitu dipaksakan.
"Wa'alaikumsalam."
Aku membalas senyumnya lalu mencium tangan kanan Yudha. Dengan cepat aku menggeser tubuh selangkah ke kanan untuk menghindarinya yang hendak meraih bahuku. Lalu mengambil jas kerja serta tas di tangan kiri pria itu dan langsung melangkah masuk menuju kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
RomancePerjuanganku selama tiga tahun mempertahankan rumah tangga yang melelahkan ini, sepertinya akan sia-sia. Aku memilih untuk berhenti saja. Cinta kami tidak cukup membuat bahagia. Kekayaan yang dia punya, juga tidak mampu menghapus tangis rintihan hat...