"Ifa, lo kemarin beneran ga papakan? Katanya Ulfa lo bete gitu."
Ifa menoleh ke samping. Melihat Romy yang masih sibuk menggulung spageti pada garpu, lalu melahapnya dalam sekali suap. Pipi lelaki itu seketika membulat, ingin tertawa tapi Ifa tak mau Romy tau kalau dia telah mencuri pandang pada pemuda itu.
"Aku, ga papa."
Ia menyedot jus alpukat lalu kembali mengaduknya dengan sedotan. Haruskah topik ini diperbincangkan lagi? Jujur saja, dirinya bisa semakin muak setiap melihat wajah dokter senior itu, jika teman-temannya terus saja membahas hal memalukan ini.
"Maaf ya, Fa. Gue telat bantuin lo kemarin. Coba aja gue dateng lebih cepet, seenggaknya lo ga bakal sampe di bentak di depan temen lain."
"Eh, itu bukan salah lo kok."
Ifa kembali menyuapkan sesendok terakhir nasi goreng sea food dengan malas. Jujur saja, saat ini perutnya terasa ingin meledak. Sejak lima suapanan pertama, dia sudah merasa kenyang. Ingin sekali tak menghabiskannya, tapi ia tak enak pada Romy.
Sore ini, pemuda itu mengajak Ifa makan. Katanya sih, sebagai permintaan maaf. Dan disinilah mereka, di restauran ramai pengunjung tepat di sebrang rumah sakit. Mereka tidak berdua, ada Ulfa juga yang sejak tadi setia mendengarkan obrolan.
Romy menyeruput habis ice latte miliknya, spageti di piring juga sudah habis. Lelaki itu, bagaimana caranya bisa memiliki tubuh atletis sedangkan dia memakan apa pun yang menurutnya enak. Tidak seperti dirinya yang mati-matian menahan keinginan demi tubuh ideal. Ifa cepat-cepat menunduk saat Romy melempar pandang ke arahnya. Haiss... hampir saja gadis itu ketahuan.
"Ifa, kamu masih ingat gadis kecil yang kehilangan sebelah kakinya. Kemarin dia pulang. Kamu dicariin dia, Fa. Tapi, sayang kamu udah pulang kemarin."
"Ah beneran?"
Romy menatap Ifa dan tersenyum. "Jangan sedih. Nih, ada surat dari Kina."
Ifa menerima surat itu. Lipatan kertas bergaris warna pink, dengan tulisan tangan yang jauh dari kata rapih. Tapi tak apa, Ifa bisa membacanya. Kina adalah gadis kecil berumur enam tahun yang sebulan lalu berlumuran darah di ruang UGD. Yang Ifa tahu, gadis itu tertabrak mobil saat mengejar kucing putih kesayangannya.
Ifa menghapus setitik air yang membasahi pipi. Ah, kenapa ia harus menangis seperti ini. Seharusnya dia bahagia karena kawan kecilnya sudah sembuh. Tapi, sungguh. Lewat gadis kecil itu, Ifa menyadari bahwa hidup memang harus penuh perjuangan.
"Eh, gue cabut duluan ya. Nyokap ngomel ini, minta dianterin ke rumah sepupu. Nanti kalian langsung pulang aja, udah gue bayar tagihannya," ucap Romy pada kedua temannya. Lelaki ini berdiri, menepuk pundak kanan Ifa lalu melempar senyum padanya dan Ulfa sebelum beranjak pergi.
"Gila! Gue jadi nyamuk di tengah acara makannya prince charming. Kapok gue iku. Pantes tadi feeling gue kagak enak."
Sejenak, raut wajah dan dengusan kesal Ulfa membuat Ifa terkekeh kecil. Ulfa memang tau cara mengembalikan mood baik seseorang. Ulfa ini memang begitu. Dia jarang berinteraksi dengan anak laki-laki. Katanya sih, gak ada topik yang bisa dibicarain, dia ngomong kalo ada perlunya doang.
Ulfa dan Ifa mereka itu sama-sama gak punya pengalaman pacaran. Kedua gadis yang sibuk dengan dunianya sendiri. Tipe cewek yang sudah bahagia dengan temannya masing-masing. Tapi, jika ditanya tentang cinta. Ulfa yang paling nyaut, mungkin dampak dari novel romansa favoritnya.
Sekedar info saja, dua sahabat ini sama-sama seorang secret admirer. Bedanya, Ifa baru sadar kalau dia suka sama Romy setelah sepuluh tahun berteman baik. Sedang sahabatnya Ulfa, sudah menyembunyikan rasa sukanya sejak kelas enam SD. Dan yang membuat Ifa kagum adalah, cinta monyet itu masih ada di hati sahabatnya hingga kini. Ha ha ha... apa diantara kalian ada yang seperti Ulfa? Bagaimana rasanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
RomancePerjuanganku selama tiga tahun mempertahankan rumah tangga yang melelahkan ini, sepertinya akan sia-sia. Aku memilih untuk berhenti saja. Cinta kami tidak cukup membuat bahagia. Kekayaan yang dia punya, juga tidak mampu menghapus tangis rintihan hat...