BB - 14. I Miss You

479 41 1
                                    

"Bagi beberapa orang, rindu bisa datang meski tanpa pernah punya moment kebersamaan. "
-Baby Breath-

•••

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Bab 15. Tolong Mengertilah

Aku duduk di pinggiran ranjang. Mamandang langit biru melalui jendela kaca. Angin bertiup pelan, masuk melalui celah pintu balkon yang tadi ku buka sedikit. Manikku kembali melirik ke kanan. Meraih benda persegi yang tergeletak di kasur. Membuka WhatsApp lalu membaca ulang pesan beberapa manit lalu.

Mas Yud: Nnti sore aku akan sampai di Jakarta. Tdk perlu memasak banyak². Ibu tdi menelpon, katany kita hrs segera ke rumah utk mengganti acara makan malam yg waktu itu. Kita bahas hal ini lgi setelah aku sampai di rumah.
Mas Yud: Sbentar lgi aku take off.

Memandang lagi lekat-lekat layar ponsel. Ternyata aku sudah salah mengharapkan panggilan telepon dari dia. Satu minggu sejak keberangkatannya ke Seattle. Yudha dan aku tak pernah sekali pun bertukar kabar via telpon atau skype yang dulu biasa kami lakukan. Pesan tadi juga, satu-satunya kabar yang ia berikan selama dia di Amerika.

Sejujurnya, kemarin-kemarin. Aku sangat ingin mengabarinya dulu. Namun selalu ku urungkan, takut mengganggu kerjanya.

Makan malam di rumah ibu hari itu dibatalkan. Sorenya Yudha harus terbang ke Seattle untuk menemui Klien. Dan hari ini, dia membawa kabar bahwa pertemuan itu diadakan lagi.

Terluka? Tentu saja. Mungkin karena itulah, untuk bisa mengakhiri semua luka. Aku harus segera menyelesaikan semuanya.

❊❊❊

Aku mengulum bibir, lip balm sewarna bibir sudah kugunakan. Dari pantulan cermin, aku bisa melihat punggung berbalut jas hitam Yudha. Kita sama-sama diam sejak pertengkaran tadi.

Sore hari, aku menunggu kedatangannya di ruang tamu. Tiba-tiba saja, Yudha masuk dengan seluruh amarahnya. Dia memecahankan guci di dekat pintu. Melemparkan apa saja yang ada di atas buffet. Aku bangkit dari duduk, dia cukup terkejut melihat keberadaanku dari balik sofa. Keliatannya Yudha tak menyadari keberadaanku di ruang tamu.

Aku tak tahu apa yang membuat dia kesal, tapi satu yang aku tahu. Dia tidak pernah suka ditanya "mengapa?" saat dia sedang merasa kesal.

"Mas, kamu capek. Mending kamu mandi dulu." Aku menarik koper yang ada di dekat pintu. Tangan lainnya kugunakan untuk memegang lengan Yudha.

Baru dua meter melangkah. Pria di belakangku menghempaskan tangan. Lalu dengan sedikit kasar, ia meraih dan meremas kedua bahuku. Iris coklat terang itu melebar, rahangnya mengeras, dan bibirnya terkatup rapat.

Yudha sedang marah. Padaku? Tapi aku salah apa? Aku tak melakukan apa pun yang bisa membuatnya marah.

"Dengarkan ini baik-baik. Aku tidak akan pergi makan malam. Titik." Ada penekanan di setiap suku katanya.

Ah, ternyata itu.

Aku terdiam sejenak, menggeleng samar. "Enggak bisa gitu. Kita-"

"BISA, IVY. BISA!" Yudha melepaskan tangan dari bahuku. Masih terus menatap, dia kembali berucap. "Mama terus memutuskan hal penting seenaknya. Dan kita juga bisa menolaknya."

"Kamu egois, Mas!" sergahku langsung.

"Egois, kamu bilang? Kamu tau apa yang mama putuskan? Makan malam artinya pertunangan. DAN AKU GAK BISA!"

Baby BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang