BB - 3. Kenapa?

491 50 2
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Hayoo... Lo lagi ngapain, Kak?"

Suara setengah berat milik seseorang membuat Ifa reflek membalikkan kursi putarnya. Gadis itu mendecak sebal, ia sangat terganggu dengan tabiat buruk adiknya ini. Tiba-tiba muncul dan mengagetkan orang.

"Heh! Ada pintu, kenapa gak diketuk dulu? Permisi kek."

Yang ditegur nyengir lebar, lalu menghempaskan tubuh di kasur putih sang Kakak. Meski ia benci warna putih. Tapi, anehnya setiap berada di kamar kakaknya ini-yang di dominasi warna putih-ia merasa nyaman. Apalagi ketika berbaring seperti sekarang.

"Adek gue yang gantengnya sedunia. Kalo mau tidur jangan di sini. Kamar gue bukan tempat pengungsian, pergi sono. Ganggu aja deh."

Pemuda delapan belas tahun itu melirik ke arah saudarinya yang bersungut-sungut. Wajah oval kakaknya itu mudah sekali memerah kalau sedang marah. Ia terpingkal-pingkal, senang rasanya bisa mengusili kakaknya.

"Sensitif amat sih, Mbaknya. Adek ke sini kan cuma mau ngecek mbaknya kenapa? Lagi apa?"

"Lo kenapa sih, Dek? Gue lagi baca buku, gue baik-baik aja. Udah sekarang keluar!"

Lelaki berkaos merah itu memiringkan badan ke arah sang kakak yang bersedekap dan memasang wajah kesal. Tangan kanannya ia gunakan untuk menyangga kepala yang diangkat. Memerhatikan kakaknya lebih detail, sebelum berceletuk.

"Gak usah ngusir kali. Gue ke sini disuruh ayah. Suruh cari tau lo lagi apa? Kenapa kok dua hari ini kagak kayak biasanya? Ngerem bae di kamar. Tapi, karena kakakku yang cantik ini ga kenapa-napa, yaudah."

Secepat kilat, adik laki-lakinya itu langsung ke luar kamar. Bagus. Si pengganggu itu sudah keluar, Ia bisa melanjutkan kegiatan membaca novelnya. Ifa sudah memutar kursi menghadap ke meja. Membalik halaman untuk membaca bab selanjutnya. Satu, dua kalimat dicernanya. Ketika sampai di penghujung paragraf pertama, orang tadi kembali merusak kedamaian Ifa dengan sikap keponya itu.

"Baca novel ya, Kak?"

Ifa yang memang sudah tahu akan kedatangan seseorang, karena pintu kamarnya dibuka. Buru-buru menyimpan novel di laci meja. Tapi, sepertinya manik hitam adiknya sangat jeli.

"Bukan novel. Dasar jomlo ngenes, ganggu malam damainya orang aja." Ifa berjalan melewati adiknya yang duduk di karpet berbulu halus sambil bersandar di pinggiran ranjang, lalu membaringkan tubuh di kasur.

"Yee... lo juga jomlo, Kak. Ah, udahlah itu gak penting."

Pemuda tadi lantas berbaring di karpet berbulu halus bewarna krem. Kedua tangan ia gunakan sebagai bantal. Matanya memandang langit-langit kamar.

"Kak, ada waktu gak? Gue mau ngobrol, nih."

"Ngomong aja."

Ifa meraih satu boneka teddy bear berwarna coklat lalu berguling mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Tubuhnya melintang di tengah kasur, ia melongok ke bawah mendapati wajah gelisah adiknya. Ada sesuatu yang sudah berhasil mengganti langit cerah adiknya menjadi mendung. Hanya Lego yang bisa membuatnya seperti ini. Tapi, ayah sudah membelikan lego terbaru buat dia minggu lalu.

"Kak, ada cewek yang ngasih surat cinta ke gue. Gue harus gimana, Kak?"

Mata bulat Ifa semakin lebar mendengar itu. Heh, ternyata kutu kupret ini ada yang naksir. Dan apa ini? Pengakuan cinta? Ifa tertawa kencang.

"Aduh... kalo cerita lo itu emang bener. Apa yang lo rasain ke dia? Emang gimana isinya?" Kali ini pemuda itu menatap penuh pada wajah Ifa.

"Isinya gini. Fatir, aku suka sama kamu. Kalau kamu suka aku juga. Kita bisa pacaran.

Baby BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang