Trial 10 - Arena 2

47 5 0
                                    

Qirani telah duduk manis di samping Rienna sekarang. Bajunya masih kucel dan rambutnya kotor oleh tanah dan kerikil. Si gadis kecil tidak peduli tentang apa yang telah terjadi sebelumnya, apalagi tentang penampilan.

"Rie, kalem aja anjir lo kek kesambet petir ae," Qirani berusaha menenangkan temannya yang sedari tadi gemetaran.

Rienna tampak sedang menumpukan tangan dan dagunya pada ganggang pedang kesayangannya. Ia duduk sembari menunduk murung.

"Lo gak ngerti, kalau Luinna sampai tau- sudahlah, dia sudah pasti tahu. Kita semua ngegunain aura secara bersamaan," Rienna menggelengkan kepalanya.

Qirani tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Temannya takut, itu sudah terlihat dengan jelas. Tetapi selama hidupnya, ia tidak pernah melihat Rienna setakut ini. Ia hanya dapat mengangkat kaki, menjadikan kursi depannya sebagai tumpuan kakinya, lalu menghela lesu.

Hampir semua teman-temannya memiliki aura. Qirani baru mendapat miliknya tadi, Fasya ternyata menyimpan auranya-air sebagai rahasia kecil, Ryan si tukang ban, Matt si pemilik aura jackpot (entah apa artinya, mereka masih tidak mengerti), dan Rienna si pendekar cahaya.

Apa lagi nanti ? Monny si tukang telepati ? Jillian, manusia paling sok tahu ?

Bila seseorang mendapat aura, persentase kemungkinan mereka untuk mati akan meningkat.

"Rie, gue mohon ambil nafas dulu-"

"Kita bisa mati sebelum turnamen dimulai Ran, LO bisa mati, FASYA LO BISA MATI JUGA."

"Anjir gue baru dateng aja udah digossipin," Sang pemilik aura air berdiri didepan mereka berdua sembari menyilangkan tangan.

Rienna kembali menggeretakkan gigi dan mengambil tangan Fasya yang tadi terkubur karena disilangkan. Ia menarik tangannya dan memaksa si gadis untuk duduk di sampingnya.

"Dengerin ya putri duyung. Jangan sampe aura lo keluar lagi," Rienna berkata dengan tegas. Matanya menatap manik Fasya dengan penuh kekesalan.

Fasya hanya memutar bola matanya. Ia tertawa sarkas sebelum bicara balik kepada Rienna, "Lucu ya denger dari lo yang ngeluarin aura duluan pas lawan Si minotaur. Lagian gue ngelindungin yang lain dari blackshadows."

"Oke- maaf. Iya gue lagi yang salah," decih Rienna sembari mengalihkan pandangannya ke depan, "gue cuma gamau lo mati, gamau kalian semua mati."

Fasya menyenderkan punggungnya dan mengamat ke depan. Kakinya ia silangkan agar nyaman. Si gadis sesekali melirik kedua temannya yang duduk di samping kanannya.

"Gue kaget aja lo gak ngomong. Gue open sama kalian pas pertama kali tau gue punya kekuatan, kenapa lo ga bisa lakukan hal yang sama ?" isak Rienna.

Mungkin karena Fasya takut. Tak hanya karena ia dilarang oleh gadis duyung di dalam mimpinya itu, ia juga takut. Ia telah belajar untuk tidak mudah mempercayai orang lain di realitanya. Kalimat tersebut sudah seperti prinsip baginya. Lagian, ia sempat berpikir, untuk apa sih memberi tahu orang lain ? Bukannya hanya akan jadi buah bibir ? Nanti auranya malah terdengar di telinga Luinna.

"Kalau kita tau lo punya aura ini, kita bakal jaga lo dengan extra dari dulu. Lo tau sendiri kan kemungkinan lo mati bakal meningkat kalau punya aura ?"

Dengan kalimat tersebut, kesalah pahamannya teratasi. Kalimat tersebut cukup untuk membuat celah masuk kepada teman-teman barunya. Menembus tembok prinsipnya dan masuk ke dalam diri Fasya yang sebenarnya.

Qirani yang sedari tadi diam segera melebarkan tangannya dan menarik kepala Rienna yang tunduk. Rienna mengistirahatkan kepalanya, bungkam. Tubuh Qirani yang lebih kecil dari sahabatnya membuatnya harus berlutut diatas kursi agar dapat terus mendekapnya.

EndeavourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang