Pagi itu tak banyak orang yang beranjak untuk sarapan. Biasanya mereka semua telah diam di ruang makan karena tak ingin mendengar bentakan Luinna. Pagi ini hanya satu-dua orang yang telah berlari ke kamar mandi untuk membasuh muka.
Monny terlihat lemas, wajahnya pucat pasi. Ia tak mempedulikan sekitarnya, Si gadis hanya memandang langit-langit ruangan yang gelap. Kedua matanya perlahan menutup karena lelah, tetapi bayangan tersebut terus muncul— pembunuhan brutal yang dilakukan oleh temannya.
"Mon." Fasya terlihat sedang berdiri tepat disampingnya. Matanya sembab dan rambut hitamnya kusut. Ia mengedikkan kepalanya, menunjuk ke arah pintu keluar. Monny mengangguk, memberi sinyal bahwa ia mengerti. Dengan lesu, ia berusaha keluar dari kasurnya yang lembut dan berjalan keluar.
Setelah merapihkan diri, kedua orang tersebut segera bergegas ke ruang makan. Tangan Monny rasanya layu, ia bahkan tak bisa membuka pintu tanpa bantuan Fasya. Ruangan tersebut tidak terdengar ricuh seperti biasa, mungkin karena hanya ada 6 orang disana, 3 orang diantaranya adalah Rienna, Renova, dan Qirani. Tak ada dari mereka yang terlihat seperti biasanya.
Monny berjalan pelan, menarik kursi yang bersebrangan dengan trio tersebut sebelum ambruk dengan lemas. "Santai dong." Rienna melirik dengan manik birunya. Fasya segera mencontoh Monny, tetapi dengan tidak rusuh.
Satu menit telah berlalu. Jari Rienna mengetuk meja dengan spontan, mungkin merasa bosan. "Oke soal kemarin—"
"Gak mau ngomongin soal kemaren," Qirani berkata sembari menggigit sedotan, yang lain juga ikut mengeluh setuju.
Rienna memandang mata temannya kesal, "Sori, ga ada pilihan. Mau dia udah ngebunuh orang atau gimana, dia tetap kenalan kita."
"Terus apa yang lo mau kita lakuin, Rie ? Kita anggap aja yang kemaren ga terjadi ? Bahwa gadis itu masih ada di sini dan Matt sebenarnya bukan seorang psikopat ?" Qirani menaikkan suaranya. Seluruh ruangan dapat mendengar kata-katanya yang terdengar sakit. "Apa yang dilakukan oleh cowo itu— Geo adalah hal yang masih bisa gue maklumi, melihat cewek yang waktu itu mati oleh singa Namea adalah hal yang masih bisa gue maklumi. Melihat teman lo membunuh seseorang adalah hal yang baru, maaf." Si gadis menyibak poninya yang bewarna krem pucat.
Rienna menghela nafas panjang, memperbaiki kacamatanya yang miring. "dia bukan seorang psikopat," ia melirik ke sudut matanya "belum."
"Denger, pura-pura melupakan hal ini juga salah Ran. Gue mulai percakapan ini biar kita tau harus gimana soal Matt dan cowo-cowo itu, gak mungkin kita diemin aja. Lo liat apa yang Nathan lakuin ke Fasya ? Menurut gue gak ada dari mereka yang waras— kecuali Ryan untuk sekarang."
"Oke, gimana kalau kita minta pendapat pertama dari salah satu korban mereka ?" Tanya Qirani yang berusaha menahan emosi.
"Fasya ?" Renova melirik temannya yang terduduk murung di depannya. Poninya basah oleh keringat dingin dan penampilannya kusut walaupun telah merapikan diri.
"Eh ?"
"Gue perlu pendapat lo," Pinta Rienna setelah diam selama semenit untuk menunggu respons darinya.
Si gadis memerlukan beberapa menit untuk memproses permintaan tersebut. "Entahlah, gue juga bingung." Fasya merasakan hujan badai mulai menghajar dirinya. Memikirkan cowo-cowo tersebut— khususnya Matt hanya membuat ia makin kesal. Ia juga terus bertanya, mengapa ? Mereka baru saja ketemu, kenapa Fasya terus memikirkan orang-orang tersebut ? Mengapa ia mempunyai firasat bahwa Matt akan pergi ? Mengapa ia takut Matt pergi ?
"Oke— gak terlalu ngebantu tapi baiklah. Monny, Renova, Qirani ?" Tanya Rienna yang memandang ketiga temannya. Renova mengedikkan pundaknya tanpa ekspresi sedangkan Monny masih mengistirahatkan kepalanya diatas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endeavour
FantasyKalian pernah dengar unicorn ? Apakah kalian pernah dengar tentang atlantis ? Hewan dan tempat tersebut hanya sebuah mitos, kan ? Ini seperti hal tersebut, tetapi versi remaja Indonesia. Kalian pernah dengar iblis yang menjelema jadi makhluk hidup...