Five

2.4K 210 29
                                    

[22 November 2017]

Udara dinginnya musim salju terkadang menenangkan namun juga menyakitkan. Buktinya, udara itu kini membuat gadis cantik yang sedang menikmati kopi di balkon terus saja menggosok telapak tangannya yang membeku. Walau lelah karena ia mengulangnya berkali-kali, namun hanya itu satu-satunya cara agar ia dapat bertahan dari rendahnya suhu musim salju.

Jiyeon— gadis yang kini duduk di balkon ditemani secangkir kopi hanya memerhatikan jalanan yang sudah tertutup oleh salju. Tanpa sebuah ponsel, Jiyeon hanya ingin menenangkan dirinya karena pikirannya sedang tidak stabil saat ini.

Ia ingin marah tapi juga ingin menangis. Duh, ia sudah tak tahu apa yang ia inginkan.

“Hari ini ada treatment ya? Haha, bahkan aku lupa akan hal itu,” Jiyeon tertawa sendiri bagai orang sinting. Dengan cepat ia menyesap kopinya hingga kandas lalu ia bangkit, bergegas untuk pergi menemui psikolog yang membantunya.

***

Papan putih bertinta hitam yang tertulis 'Kim Seokjin, Psi' itu yang pertama kali menarik perhatian Jiyeon. Gadis itu melipat satu kakinya dan menatap papan nama itu malas.

“Selamat pagi, Park Jiyeon, aku senang karena kau datang,” Psikolog muda itu mengulas senyum indah, wajah tampannya mampu menarik perhatian kaum hawa, namun tentu saja tidak untuk Jiyeon.

“Kau ingat 'kan hari ini aku akan melakukan treatment psikoterapi?”

Jiyeon mengangguk malas, “Aku tidak akan melupakan itu, Dokter.”

Tanpa basa-basi mengingat Jiyeon yang begitu sulit sekali untuk diajak konseling, Seokjin langsung memulai topiknya. “Apa akhir-akhir ini banyak yang mengganggu pikiranmu?”

“Banyak sekali hingga rasanya aku ingin mati dan tidak bertemu denganmu lagi.”

Tak ingin menggubris pernyataan Jiyeon yang tak masuk akal, Seokjin melanjutkan, “Sudah punya banyak teman? Apa mereka senang berteman denganmu?”

“Tentu saja, sebelum mereka tahu gangguan psikolog-ku.”

Kembali, Seokjin tak lagi menggubris kalimat Jiyeon, “Senang tidak punya teman banyak?”

“Tentu saja tidak, mereka hanya memanfaatkanku.”

Seokjin menghela, sudah dibilang, mengajak Jiyeon untuk konseling itu sangat sulit baginya. Ia menatap Jiyeon heran, Seokjin bingung apa yang ada di dalam otak sang gadis hingga sulit sekali mengajaknya berkomunikasi.

“Tahu tidak? Aku punya banyak permen untukmu.”

“Kau pikir aku bocah?“ potong gadis itu kesal, “Dok, bisa serius? Aku akan mengalami depresi lagi.”

Seokjin memilih untuk mengusap wajahnya kasar, jika ia tidak sabar menjadi psikolog, ia yakin pasiennya tak akan terbebas dari gangguan mentalnya.

“Bagaimana dengan sekolah? Kau punya kekasih?” Seokjin terus saja mencari topik positif agar Jiyeon berani untuk memberitahukan semua masalahnya.

“Belum, tapi mungkin sebentar lagi,” gadis itu terkekeh kecil, ia kembali menatap papan nama itu kosong, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. ”Astaga, aku jadi ingat lelaki itu.”

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang