[24 November 2017]
Jiyeon's POV
"Oh, sudah kembali?"
Aku menatap sinis sepasang kekasih yang baru saja masuk dengan tangan yang saling merangkul.
"Sudah sayang, bagaimana harimu?" Lelaki yang sudah berumur itu kini berjalan mendekatiku. Aku mematikan televisi dengan malas lalu menatap pria itu sinis.
"Peduli apa kau?"
Pria yang ku anggap sebagai ayah itu terkekeh pelan, dapat ku lihat tangan kanannya yang semakin mengeratkan rangkulan pada pundak wanita yang penuh dengan bedak tebal di wajahnya. Menyeramkan sekali.
"Sayang, jangan seperti itu. Sudah berapa kali ayah bilang? Ini ibumu."
Aku berdecak, mengalihkan pandangan dari mereka. "Ibu? Kau pikir aku tolol sehingga aku tidak mengenal wajah ibuku sendiri? Jelas-jelas dia bukan ibuku."
Dengan sabarnya, ayahku menghela, namun senyum tipis tak pernah hilang dari wajahnya. "Jaga bicaramu, sayang."
Menyebalkan. Aku benci mereka.
Malas melihat pasangan kolot di depanku, aku segera bangkit dan dengan tidak sopannya meninggalkan pasangan kolot itu di ruang keluarga. Sungguh, aku malas sekali melihat kemesraan mereka yang tak seharusnya aku lihat.
Lantai kini sudah terasa sangat dingin akibat suhu yang semakin menurun seiring waktu berjalan. Walau aku sudah memasang penghangat yang ada di dalam kamar, tetap saja udara dingin itu tak pernah membiarkanku untuk merasakan hangatnya udara.
Dengan kaki telanjang, aku memutuskan untuk pergi ke balkon kamarku. Aku memutar kenop pintu balkon dan segera mendorong pintu itu sehingga aku dapat menyaksikan indahnya malam pada musim dingin ini. Bulan nampaknya tertutup oleh awan yang juga terlihat indah.
Aku berjalan mendekati pagar balkon yang ternyata sudah banyak sekali salju yang bertumpuk di atasnya. Aku tersenyum tipis, aku menyentuh salju yang lembut dan dingin itu.
Kadang aku bingung, kenapa banyak sekali ya lelaki yang dingin seperti salju? Padahal, aku benar-benar tidak senang melihat pasangan kekasih yang ternyata lelakinya itu dingin dan cuek. Menyebalkan dan egois, intinya aku tidak suka.
Aku masih setia memandang langit yang berwarna biru, kadang aku juga mengalihkan pandangan demi melihat pohon yang sudah tak mempunyai daun lagi.
"Sepertinya hidupku sama seperti pohon itu, ya. Tak punya teman, menyedihkan, namun masih kokoh untuk bertahan hidup. Tapi sebenarnya aku tidak mau hidup sih, kalau perlu aku ingin dilahirkan kembali menjadi batu. Setidaknya batu tidak merasakan perasaan kecewa yang orang lain toreh padaku."
Aku tertawa sendiri mengingat kebodohanku yang bisa-bisanya melepas satu-satunya permata yang paling berharga dalam kehidupanku. Haha, astaga, rasanya aku ingin kembali melukai diriku sendiri.
Aku mendadak bergerak gelisah dan menajamkan pandanganku pada pohon yang lenyap akibat gelapnya malam. Tanganku menggenggam pagar pembatas yang dingin itu dengan sangat kencang, mataku memfokuskan pandanganku.
Lucu sekali, jika diingat-ingat, aksiku ini terlihat seperti karakter yang sedang tempur dalam permainan Player Unknown's Battleground.
Menyadari pohon yang berada di seberang balkonku bergerak, aku tak segan-segan untuk memandangi terus pohon itu. Aku hanya curiga, apa yang ada di balik pohon itu.
Namun rasa penasaranku tergantikan oleh raut curiga setelah melihat seorang lelaki bertubuh tinggi tiba-tiba muncul dari balik pohon itu. Kepalaku sedikit aku majukan demi memfokuskan pandangan pada orang itu, mengamati wajahnya yang sepertinya tak asing di mataku.
Sebentar, sebentar. Bukankah itu si tampan Jeon Jungkook?
"Jungkook?" gumamku kecil. Aku melihat lelaki itu menggunakan mantel tebal selutut dan sepatu timberland hitam. Lelaki itu mendongak dan menatapku dengan senyuman manis.
Dia tersenyum padaku?
Pipiku tiba-tiba memanas, orang gila mana yang rela berjalan di tengah rendahnya suhu negara Korea?
Dari kejauhan, aku dapat lihat Jungkook melambai padaku. Aku mengernyit, aku masih bingung dan belum yakin bahwa itu benar-benar Jungkook.
Lelaki itu tiba-tiba saja berlari mendekati balkonku, ia sedikit terengah sehingga aku dapat melihat kepulan asap yang keluar dari mulutnya. Setelah aku perinci lagi, dia benar-benar Jeon Jungkook, si penyelamatku.
"Jeon, itu kau?" tanyaku dari balkon kamar. Aku sengaja mengecilkan volume suaraku agar pasangan kolot itu tak mencurigai apapun.
"Ingin bertemu denganmu," dengan jarak yang tak terlalu jauh ini, aku dapat mendengar penuturan katanya yang jelas walau suaranya mengecil. Setelahnya aku merasa pipiku menghangat tanpa sebab, Oh Tuhan, secepat inikah aku jatuh pada pesonanya?
Aku melihat wajah lelaki itu yang memerah serta bibir kecilnya yang juga bergetar. Dengan dorongan hati, aku menghela, "Sebentar, aku akan ke bawah."
Aku segera berlari menuju pintu kamar lalu menggunakan mantel tebalku, setelah itu keluar dari kamarku ini, kemudian aku sedikit mengintip ruang keluarga yang sudah gelap dan sepertinya pasangan kolot itu sudah tidur bersama dengan nyenyak. Akhirnya, dengan tekad yang bulat, aku menuruni tangga dengan tergesa dan langsung saja menmasang sepatu bot hitam yang biasa aku gunakan saat musim dingin.
Aku memasukkan tangan ke dalam saku mantel sebelum memilih untuk keluar rumah. Ini sudah malam, dan biasanya saat malam tiba, suhu menjadi lebih rendah dari biasanya. Saat sudah sampai di luar rumah, langsung saja aku berlari kecil menuju samping rumahku. Dan aku benar-benar melihat tubuh lelaki itu yang sedang berdiri tegap memandangi balkonku.
"Jungkook!" panggilku keras dan membuat lelaki itu menoleh padaku, setelahnya ia langsung tersenyum tipis. Aku semakin menambah kecepatan langkahku, lalu segera aku memeluk tubuh lelaki itu yang ternyata sudah terasa sangat dingin.
Aku sedikit berjinjit demi meraih tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Ku peluk erat tubuh besarnya hingga aku merasa lengan lelaki itu juga melingkar pada pinggangku dan memeluknya erat. Aku menghembuskan napas diiringi dengan uap-uap yang juga ikut keluar dari dalam mulutku.
"Kau ini gila? Di sini dingin sekali," ujarku jengkel saat aku memutuskan untuk melepas rengkuhan kami. Aku hanya melihat lelaki itu yang tersenyum tanpa dosa bagai anak kecil.
Aku menghela, segera ku tarik lengannya agar mengikutiku masuk ke dalam rumah. Namun nampaknya Jungkook terlihat menolak saat aku menarik lengannya.
"Jiyeon, aku tidak perlu masuk ke dalam rumahmu. Aku hanya, rindu. Jadi, aku tidak perlu masuk."
"Diam saja dan ikuti aku," aku semakin mempercepat langkahku agar kami cepat-cepat masuk ke dalam rumah dan menghangatkan tubuh kami.
"Astaga, percaya padaku. Aku hanya ingin melihat wajahmu dan memastikan bahwa kau baik-baik saja, Ji. Sudahlah, sebentar lagi aku harus kembali ke rumah."
Aku menggeram, "Jangan banyak bicara, Jungkook. Kau ini terlihat seperti anak kecil, banyak sekali bicara."
Jungkook menghela, "Jiyeon, dengarkan aku. Kau tidak perlu repot-repot mengajakku masuk ke rumah."
Dengan kasar aku membanting pintu rumah kasar dan mencopot sepatu bot ku asal, kemudian aku segera membawa Jungkook ke dalam kamarku. Namun lagi-lagi lelaki itu terus saja menyeloteh dan tak bisa menghentikan celotehannya barang sedetik pun.
"Jiyeon," panggil Jungkook lemah, "melihatmu saja sudah lebih dari cukup. Aku baik—"
Aku segera mendorong tubuhnya hingga Jungkook terduduk di atas ranjangku, "Diam dan ikuti saja apa kenginanku." []
![](https://img.wattpad.com/cover/170708282-288-k923530.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
Fanfiction❝Ingat kisah kita 3 tahun yang lalu?❞ ❝Tentu. Tentang si posesif gila yang menjagamu sampai kita menikah, 'kan?❞ ❝Dasar, dari dulu sampai sekarang pun kau tetap posesif. Beruntunglah kau masih kucintai, Kook.❞ Dimulai saat Jeon Jungkook menemukan Pa...