Nine

1.6K 160 14
                                    

[25 November 2017]

Ruangan itu terasa hangat. Walaupun salju masih terlihat di luar sana, namun entah kenapa ruangan Seokjin justru terasa sangat hangat.

Psikolog muda itu tersenyum hangat, terlihat sangat berwibawa dan menenangkan. Jiyeon juga ikut tersenyum, tangannya yang sudah dibalut perban ia masukkan di saku jaket tebalnya.

"Feels good?" tanya Seokjin lembut, "jangan lakukan itu lagi, aku akan melaporkanmu pada ayahku jika kau melakukannya lagi."

"Ey," Jiyeon terkekeh, "jangan mengadu, kau sudah tua, Dok. Lagipula ayahmu tidak akan memarahiku."

"Siapa bilang?" tanya Seokjin seraya mengernyit, "kau akan dimarahi habis-habisan, Nona."

"Aku tidak peduli," ia terkekeh mengejek.

"Bagaimana perkembanganmu?" tanyanya pelan, "sudah minum obatnya?"

"Tidak ada perkembangan," jawabnya malas, "aku sudah muak, Dok. Apa aku harus meminum obatnya sedangkan obat itu tak berfungsi sama sekali?"

Seokjin dengan sigap melipat kedua tangannya di dada, "Apa aku harus memanggil ayahku ke sini agar kau tahu betapa sayangnya ia padamu, Jiyeon?"

Setelah mendengar kalimat itu, Jiyeon membatu. Ia hanya menatap wajah Seokjin kosong, tak tahu harus bereaksi apa.

"Jaga kesehatanmu, Jiyeon. Banyak sekali orang yang menyayangimu, termasuk aku dan ayahku. Kenapa harus menyerah ketika ada banyak orang di sekelilingmu yang selalu mendukungmu?"

Seokjin mengembuskan napasnya kasar, "Dengan cara bunuh diri, itu tak akan menyelesaikan permasalahannya."

Jiyeon masih sama, tak berkutik dan lebih memilih untuk menunduk. Apa yang Seokjin katakan memang benar, namun setelah melihat Jungkook dan kekasihnya, membuat nya semakin yakin untuk menyerah pada hidupnya.

Jiyeon juga tak tahu kenapa ketika melihat Jungkook hatinya sangat bahagia dan tenang. Ia baru merasakannya kali ini. Jungkook benar-benar terlihat tulus di matanya.

"Ayahmu menitipkanmu padaku. Aku punya hak untuk mengawasimu. Aku tahu kau mencoba bunuh diri lagi 'kan saat di sekolah?"

Bukannya terkejut, Jiyeon justru menatap Seokjin datar, "Jika itu alasan utamamu untuk menjagaku, aku yakin akan meninggalkanmu, Dokter."

"Apa maksudmu?"

"Ayah. Kau menjagaku karena tuntutan ayah yang memintaku agar cepat sembuh, benar? Agar ayah tak malu mempunyai anak sepertiku?"

"Jiyeon..." panggil Seokjin cepat saat ia melihat Jiyeon yang kembali mengambil pisau lipat dari balik jaket tebalnya.

Seokjin menepis tangan Jiyeon kuat hingga menjatuhkan pisau lipat itu. Ia bahkan mencengkeram pergelangan tangan Jiyeon yang masih terbalut perban. Seokjin sudah sering menangani kasus seperti ini, jadi ia tahu di mana titik kelemahan pasiennya.

"Berhenti," ujar Seokjin tegas, "kau sudah banyak melukai dirimu."

"Apa masalahmu?" Jiyeon tertawa sinis, "ayahku saja tidak peduli, apalagi kau. Dokter, jika ayahku tetap memaksamu untuk mengawasiku, sudahlah. Lebih baik aku pergi—"

"Jiyeon, berhentilah berbicara."

"Apa lagi?!" Air mata sudah tergenang di kelopak matanya. Perasaan kesal, sedih, takut sudah tercampur di hatinya. Ingin marah pada seseorang, dan mungkin Seokjin adalah sasaran utama kekesalannya.

Ingin rasanya psikolog muda itu merengkuh Jiyeon sekuat mungkin. Ia sangat menyayangi Jiyeon sebagai adiknya, Seokjin akui itu. Bukan hanya pasien, namun Seokjin lebih senang menganggap Jiyeon sebagai adik perempuannya.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang