Fourteen

43 6 0
                                    

[30 November 2016]

Aku kembali ke rumah dengan keadaan mata yang membengkak dan hidung yang merah. Ditambah, luka yang kugores lagi pada pergelangan tanganku. Kali ini luka itu mengering seiring perjalanan ke rumah, menembus musim dingin bersamaan dengan air mataku yang terus mengalir.

Aku belum berani bercerita apapun kepada Jungkook, aku takut terlalu jatuh kepadanya. Jungkook memiliki pesona yang kuat sehingga aku tak bisa menghindari pesonanya. Sudah cukup bagiku mengetahui bahwa lelaki itu sudah memiliki kekasih, dan seharusnya aku tahu batasku.

Realita memang semenyedihkan itu. Sekarang aku juga mengenal lelaki bernama Kim Taehyung, yang sialnya adalah kerabat Jungkook. Aku juga tidak mengerti drama apalagi yang akan terjadi di kehidupanku selanjutnya, tapi kuharap masalah ini cepat selesai.

“Habis dari mana kau?”

Tungkaiku berhenti melangkah, emosiku tiba-tiba memuncak. Aku senyum miring, masih membelakangi pemilik suara dan enggan menatap wajah sialannya.

“Peduli apa kau?” tanyaku sinis, tak peduli apapun yang menyangkut tentang dirinya.

“Haha,” tawanya renyah, dapat kudengar suara menjijikannya yang terlintas pada pendengaranku, “aku punya hak atasmu, sayang.”

Sebelah alisku terangkat, ingin terbahak mendengar pernyataannya yang sangat konyol. Akhirnya aku memutuskan untuk berbalik, menatap matanya yang tajam. “Apa katamu? Hak? Hahaha, bodoh. Memangnya umurmu berapa, sih?”

Wajah wanita itu memerah, dapat kulihat kedua tangannya yang saling mengepal. Tentu saja aku tersenyum puas, baru awalpun dirinya sudah tersulut emosi.

“Rupanya dirimu ya, yang bodoh. Apa yang selama ini ibumu ajarkan padamu, Park Jiyeon?”

“Ibuku mengajarkan banyak hal istimewa padaku, maka dari itu aku mengerti sopan santun untuk tidak merebut suami atau kekasih orang lain. Ibuku selalu melarangku untuk berlaku seperti itu, katanya, orang seperti itu sama seperti sampah. Tak ada bedanya,” jawabku dengan bangga yang mampu membungkamnya.

“Lalu, ibumu tak mengajarimu tentang pendidikan? Haha, pantas anaknya bodoh.”

Aku tahu sekali kalau ia berniat untuk membuatku lengah dan menghajarnya, tapi sayang, aku tak tersulut sama sekali.

“Aku tak peduli seberapa bodoh diriku tentang pendidikan, tapi aku berusaha untuk tidak menjadi sampah masyarakat. Ibu selalu berkata bahwa pendidikan itu nomor dua dari sikap, jadi aku selalu mencoba untuk memperbaiki sikap dan kebiasaanku agar aku berguna,” kembali, aku tersenyum sangat lebar, “menurutku, percuma sekali kalau kau pintar tapi sikapmu jauh di bawah pendidikanmu.”

“Itulah mengapa ibumu ada di rumah sakit jiwa saat ini, ternyata memang benar bahwa ia gila dan tak bisa mendidik anaknya dengan benar,” kedua tangannya melipat, wajahnya angkuh sekali, “otakmu dan otak ibumu sepertinya sama, memiliki volume yang besar tapi tak pernah diisi dengan pendidikan. Susul saja ibumu, karena orang bodoh tak berlaku di masyarakat.”

“Siapa bilang?” kulipat kedua tanganku, juga menunjukkan raut wajah angkuh. “Orang berpendidikan sepertimu saja tak punya sikap dan sopan santun, seenaknya mengambil suami orang lain. Memang ibumu haus akan jabatan, ya? Sehingga anaknya tak diajari satupun sopan santun melainkan terus menyuguhi pendidikan. Aku justru miris sekali melihatmu, Nyonya.”

“Sekarang kutanya,” wanita itu mengangkat tepi bibirnya, tersenyum sinis walau aku masih bisa melihat wajahnya yang semakin memerah, “Orang bodoh memangnya bisa mencari karir? Kau jangan terlalu naif, Jiyeon. Zaman sekarang kita hanya butuh uang, uang dan uang. Karir itu kunci utama agar kau kaya, bukan sikap. Kau sopan sekalipun, tak akan ada yang peduli. Karena bagi mereka uang adalah segalanya dan sikap dinomorduakan.”

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang