BAB 1

14.3K 706 43
                                    

Awal musim panas, saat pertama aku melihatmu..
Wajah cantik mu membuatku terpana, dengan balutan gaun oranye, dan bibirmu yang merah muda tersenyum senang menikmati pesta.
Rambutmu kau biarakan tergerai dan menari-nari menututpi sebagian wajah cantikmu kala angin menghampiri.
Dengan gerakan ringan yang memukau, tanganmu bergerak menyisipkan helaian rambut yang menutupi wajahmu ke belakang telinga. Kau sungguh sangat cantik. Membuatku jatuh cinta padamu..
~ Pengagum mu.

Aku menatap kertas putih di tanganku. Kertas yang datang bersama dengan sebatang coklat yang kutemukan di laci mejaku. Aku memperhatikan satu per satu teman-teman sekelasku. Kelas tampak lenggang, hanya ada beberapa siswa yang baru datang. Para gadis nya sibuk bergosip, berkumpul disalah satu meja. Begitu pun para siswa laki-laki yang sibuk dengan cerita tentang tim sepak bola kesukaan mereka yang menang tadi malam. Padahal ujian nasional tinggal tiga minggu lagi. Tak ada yang mencurigakan dari mereka semua. Lalu siapakah yang meletakkan sebatang coklat dan menulis surat  pujian ini dimejaku?

“Hei apa ini?”

Aku kaget ketika suratku ditarik dari tanganku. Aku menoleh dan mendapati Deya, teman sebangku ku sudah duduk di kursi nya dan membaca surat itu tanpa seizin ku. Aku hanya pasrah. Sudah memaklumi semua kelakuan Deya yang blak-blakan. Tak ada yang tak diketahui Deya tentang diriku dan kehidupanku.

“Whoaa.. kau punya seorang pengagum rahasia. Dimana kau temukan ini?”

Deya tampak takjub dan terus menatap kertas itu. Berlebihan sekali. Aku menarik kembali kertas itu.

“Pengagum rahasia apa? Ini kutemukan didalam laci mejaku saat aku sampai disini. Ini pasti salah alamat. Aku yakin ini bukan untukku,” aku kembali meletakkan kertas putih itu dibawah pita yang menghiasi batang coklat, kemudian meletakkan kembali didalam laci meja.

“Jika itu bukan untukmu, tidak mungin itu berada didalam laci mejamu,” ujar Deya.

“Sudah ku bilang, ini salah alamat. Seseorang pasti salah meletakkanya,” aku mengangkat kedua bahuku. Dan tidak berniat membahas nya lagi. Aku sedang tidak mood untuk ini. Pagi ku sangat menyebalkan. Dan aku tidak ingin membahas nya.

“Aku berani taruhan kalau itu memang untukmu. Dan ku yakin kau akan segera mendapat surat selanjutnya,” Deya menatapku dengan tampang sedikit sombong, kemudian melanjutkan, “Dan aku sangat penasaran siapa pengagum rahasiamu,” tatapannya berubah serius. Aku hanya memutar bola mataku dengan malas dan mengalihkan pandangan ku dari nya. Mengambil buku di dalam tas dan belajar adalah hal yang tepat untuk dilakukan daripada aku meladeni Deya perihal pengagum rahasia ini.

Kelas mulai ramai beberapa menit kemudian. Dan bel tanda masuk juga sudah terdengar seantero sekolah. Pelajaran berlangsung seperti biasa. Aku yang merupakan murid paling rajin dan termasuk yang pintar dikelas, mendengarkan dengan seksama sang guru yang sedang memberikan materi pelajaran serta kisi-kisi ujian nasional yang akan datang. Pandanganku sangat fokus kedepan saat tiba-tiba Deya menyikut lenganku dan berbisik pelan.

“Hei Lans, apa kau pikir itu Azra? Sipengagum rahasiamu,” bisik Deya sambil memegang buku catatannya di depan wajah menutupi mulut nya yang sedang berbicara agar tidak ketahuan oleh guru yang sedang mengajar.

“Tidak,” jawabku tanpa menoleh dan tetap fokus kedepan.

“Aku yakin itu Azra. Bukankah beberapa hari ini dia bertingkah aneh saat didepanmu?” Deya kembali berbisik. Fokusku sedikit teralihkan lantaran mengingat bahwa Azra memang bersikap aneh belakangan ini.

Azra adalah siswa laki-laki yang ruang kelasnya disamping ruang kelasku. Dan dia juga merupakan tetanggaku. Azra Mahendra, itulah nama lengkapnya. Laki-laki yang sudah ku kenal sejak sepuluh tahun yang lalu. Kami tak begitu akrab. Tapi kami selalu saja bersekolah disekolah yang sama, mulai dari Sekolah Dasar, Menengah Pertama, dan sekarang Sekolah Menengah Akhir. Dan Azra adalah laki-laki yang sejak sepuluh tahun lalu berhasil membuat jantungku berdebar kala didekatnya atau saat menyapanya hingga sekarang ini. Akan sangat menyenangkan jika surat ini dari Azra seperti kata Deya. Tapi aku masih tidak yakin, dan aku tidak ingin berharap lebih.

“Kau mengada-ada. Lebih baik gunakan otakmu untuk mencerna pelajaran agar kau bisa mengikuti ujian nasional nanti, daripada memusingkan urusan pengagum rahasia ini,” jawabku juga berbisik. Dan Deya hanya memasang wajah kecut dan memfokuskan pandangan kedepan kelas. Tingkah nya membuatku geleng-geleng kepala dan tersenyum geli. Dasar Deya.

***

Siang ini cuaca mendung. Langit tampak gelap. Angin bertiup cukup kencang. Aku dan Deya sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Ini adalah jam pulang sekolah. Sepanjang jalan menuju gerbang Deya terus mengeluhkan langit mendung. Ia takut jika turun hujan, Deya tidak menyukai hujan. Berbeda denganku yang sangat berharap pada langit untuk menurunkan hujan. Sangkin sibuk nya mendengarkan Deya mengeluh ini dan itu tentang langit mendung, aku tak sengaja menabrak salah seorang siswa.

“Oh maaf, aku tak sengaja. Sungguh, aku tak melihatmu tadi,” aku panik dan langsung berjongkok menghampiri siswa laki-laki berkacamata yang baru saja aku tabrak.

“Tidak apa, aku baik-baik saja,” ujarnya memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit jatuh dari batang hidung nya karena ulah ku. Lalu dia memungut beberapa buku yang terjatuh karena insiden barusan. Aku yang baru sadar bahwa tak hanya ia yang kujatuhkan tetapi juga buku-buku nya, segera ikut membantu nya memungut buku-buku itu dan menyerahkannya kepada sang pemilik yang ternyata adalah Leo teman sekelasku dan Deya.

“Terima kasih,” ujarnya sedikit menunduk ketika aku mengembalikan bukunya. Lagi-lagi ia memperbaiki letak kacamatanya dan tersenyum canggung padaku.

“Seharusnya aku yang bilang maaf karena telah menabrakmu Leo. Maafkan aku,” balasku, dia hanya tersenyum menunduk.

“Kau mau ku bantu membawa buku itu?” tawarku.

“Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih atas tawaranmu,” jawabnya canggung. Yah, aku yakin karena kami bukan lah teman akrab, makanya terasa canggung. Dan juga Leo bukan tipikal orang yang mudah bergaul. Dikelas ia hanya si kutu buku yang sehari-hari nya hanya berteman dengan buku.

“Sama-sama. Baiklah kami pulang dulu Leo, bye!” Deya yang sedari tadi diam menyaksikan kami, memotong pembicaraan dan buru-buru menarikku pulang meninggalkan Leo. Deya sedikit memaksa menarik tangan ku hingga ke gerbang sekolah. Dan langsung menarikku kedalam mobil hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang. Mobil yang ku kenal sebagai mobil ayah Deya yang dikendarai oleh supir bagi keluarga Deya, Dante.

“Ada apa denganmu? Kenapa terburu-buru?” tanyaku ketika sudah berada didalam mobil.

Deya mengatur nafasnya yang memburu, “Kenapa kau malah menawarkan bantuan kepadanya? Apa kau lupa kalau dia Leo si kutu buku yang aneh dan tidak punya teman?” ujar Deya sedikit berlebihan menurutku. Aku sampai terkejut melihatnya yang hampir berteriak itu.

“Lalu kenapa?”

Deya ingin menjawab namun tertahan, ia sepertinya bingung mau jawab apa.

“Entahlah, karena dia aneh, aku jadi tidak suka dengannya. Dan aku juga tidak suka kau menawarkan bantuan kepadanya. Hanya itu saja,” jawab Deya menaikkan kedua bahu nya ragu. Lagi-lagi aku hanya geleng kepala karena nya. Dan mobil sudah melaju dijalanan menuju rumahku.
Sesampainya didepan rumah ku, mobil berhenti dan aku segera turun dari mobil milik ayah Deya. Mengucapkan terimakasih pada Dante karena telah mengantar ku pulang, dan juga pasti nya kepada Deya. Dari dalam mobil Deya melambaikan tangan nya kepadaku dan ku balas dengan lambaian tangan juga. Mobil melaju meninggalkan jalanan depan rumah ku. Saat aku ingin membuka pagar rumah, saat itu juga aku melihat Azra baru saja sampai depan rumahnya dengan sepeda motor nya. Azra membuka helm yang melindungi kepala nya. Saat helm sudah terbuka, dengan gerakan yang sangat maskulin bagiku, Azra menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jari tangan nya. Pemandangan yang sangat indah. Mata ku hampir tak berkedip melihatnya. Azra tersenyum kearah ku, lalu melambaikan tangannya menyapaku.

"Hai Lans."

Aku yang sedari tadi memandang Azra dengan tampang konyol, akhirnya tersadar dan membalas lambaian serta sapaan Azra.
"Oh hai Azra, baru pulang?" Tanya ku. Pertanyaan bodoh. Tentu saja baru pulang, Azra tak mungkin ada di depan rumah nya sekarang jika ia tak ingin pulang. Bodoh nya aku.

"Iya," jawab Azra seadanya. Hening sejenak. Atmosfir nya benar-benar tidak enak. Ini kecanggungan yang luar biasa. Sepertinya aku harus melarikan diri. Langkah awal, aku melempar kan senyum kepada Azra dan di balas oleh Azra. Selanjutnya, aku membuka pintu pagar kayu yang hanya sebatas dadaku dan langsung mengambil langkah seribu masuk kedalam rumah, lalu menutup pintu rumah rapat-rapat. Nafasku memburu, sepertinya aku kena serangan jantung. Aku yakin wajah ku pasti terlihat konyol saat di depan Azra tadi. Oh tuhan! Betapa memalukan nya diriku. Aku berjalan gontai menuju kamar sambil terus merutuki diriku sendiri.

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang