BAB 9

6.4K 463 7
                                    

“Apa?!”

Aku terkejut bukan main ketika mendengar kabar kalau Ayah dan Ibu akan keluar kota besok. Baru saja aku hendak melaporkan mengenai kejadian kamar ku yang dimasuki oleh seseorang pada mereka agar bisa diberi tindakan karena aku sangat ketakutan.

Sekarang aku malah harus menerima nasib yang lebih menakutkan. Yaitu ditinggal sendirian dirumah yang baru saja dimasuki oleh orang asing secara diam-diam.  

“Mengapa terkejut. Ibu dan Ayah kan sudah memberitahumu,” ujar Ibu yang masih sibuk menyiapkan sarapan pagi. Ibu juga masih mengenakan celemek nya, sedang meletakkan telur goreng ke atas piring.

“Kapan?” tanya ku bingung.

“Duduk lah dulu Liandra, apa kau akan berbicara bersama Ayah dan Ibu sambil berdiri?” ujar Ayah mengalihkan pandangannya dari koran pagi dan menatapku.

Aku juga baru sadar kalau sedari tadi aku masih mematung sambil memeluk tas sekolah ku. Segera aku berjalan menuju meja makan dan duduk.

“Saat makan malam. Ayah dan Ibu sudah membicarakannya, tapi kau hanya melamun dan memainkan makananmu,” jelas Ayah lalu menyeruput kopi nya.

Oh Tuhan! Aku baru ingat. Saat makan malam aku melamun memikirkan pertengkaran ku dan Deya. Aku begitu kesal memikirkannya sampai-sampai tak mendengarkan berita penting dari Ayah dan Ibu.

Sial..

“Maaf, aku tak mendengarkan. Aku sibuk memikirkan ujian ku dan juga rencana untuk masuk kuliah nanti,” sesalku. “Ngomong-ngomong, kenapa Ayah dan Ibu pergi?” tanyaku.

“Kakak mu Gita,” ujar Ibu yang baru saja duduk bersama ku dan Ayah di meja makan, lalu menyendokkan nasi goreng ke piring Ayah.

“Kami diberitahukan oleh pelatih balet nya kalau kakak mu kecelakaan saat latihan. Ia terjatuh saat berusaha melompat indah dan kaki nya patah,” lanjut Ibu menjelaskan.

Ya ampun. Baru saja beberapa hari lalu aku menghubungi nya dan dia dalam keadaan baik-baik saja. Sekarang aku malah mendapat kabar kalau kakinya patah.

“Jadi Ayah dan Ibu akan kesana besok untuk melihat keadaan kakakmu dirumah sakit sekaligus mengurus administrasinya. Tidak mungkin dia kami biarkan sendirian disana. Jadi kemungkinan Ayah dan Ibu akan ada disana beberapa hari,” jelas Ayah.

Apa? Beberapa hari? Lalu bagaimana denganku? Aku bahkan tak ingin di tinggal sehari pun.

“Bolehkah aku ikut?” rengek ku.

“Sebentar lagi kan ujian. Kau harus sekolah agar tidak ketinggalan pelajaran, lagi pula ini hanya beberapa hari saja Liandra,” jawab Ayah.

“Tapi Ayah, aku tidak mau ditinggal sendiran!” ujar ku bahkan hampir berteriak.

Ayah dan Ibu menatapku bingung, “Ada apa denganmu? Bukankah dari dulu juga kau sudah pernah kami tinggal ke luar kota. Kenapa sekarang malah merengek tidak jelas seperti ini,” omel Ibu.

“Itu dulu Bu, sekarang keadaannya berbeda. Aku ketakutan,” aku menjawabnya masih dengan rengekan.

“Apa yang berbeda? Apa yang kau takutkan? Seingat Ibu kau tak pernah takut ditinggal sendirian.”

“Ada seseorang menyelinap kekamarku tadi malam!” gusar ku bahkan sudah berteriak.

Seketika ruang makan jadi senyap. Hanya deru nafas ku yang terdengar. Ayah dan Ibu menatap ku dengan tatapan tidak percaya. Mereka tersentak dengan tingkah ku barusan.

Aku tahu ini karena aku berteriak. Dan tidak sopan berteriak didepan orang tua. Tapi aku sedang tidak ingin memusingkan hal itu sekarang.

“Apa?” tanya Ibu. 

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang